Kamis, 04 November 2010

SURAT (DARI) PENSIL

Seorang gadis menemuiku pagi tadi, sekotak pensil ada ditangannya, “Ini untukmu” ujarnya. “Untuk aku”, “Iya, untukmu”,Aku pergi dulu ya, besok akan kutemui kamu lagi disini” Ujarnya. Aku tertegun,” Terima kasih”..”hmm gadis yang aneh”, bathinku.

Kado yang indah, ada pita pink dan setangkai mawar. Kubuka kado itu, ada lima batang pensil warna warni. Semua mata pensil menatapku, sambil tersenyum manis. Mirip senyuman gadis tadi. “Heyyy jangan lama-lama menatap kami, ini ada surat kecil untukmu” Ujar mereka kompak, “Surat?”, Untukku?” “Dari siapa?”. Tanyaku bertubi. “Surat untukmu dari kami, gadis itu yang menulisnya”, “Bacalah!”

Kujamah, kubuka, kubaca surat itu:

“Selamat pagi sahabat. Semoga baik, kabarmu hari ini!

Kami inginkan dirimu menjadi seperti kami pensil-pensil kecil ini.

Engkau bakal bisa melakukan banyak hal yang hebat,

namun jika kau mau membiarkan dirimu dipegang dalam tangan seseorang.

Engkau akan menderita tiap kali diruncingkan,

kau butuh itu, agar bisa menjadi pensil yang lebih baik.

Engkau bakal bisa mengoreksi tiap kesalahan yang mungkin kau lakukan.

Ingatlah, bagian terpenting dari dirimu itu ada di dalam.

Pada tiap permukaan dimana engkau digunakan,  

tinggalkanlah jejakmu, sebab apapun kondisinya,  

kau harus terus lanjutkan menulis”

Salam,

Pensil Pensil Kecil

Sesaatku tertegun sambil menarik dalam dalam nafasku, “Hmmm..apa yang akan kukatakan padanya besok”? (f)

Insirated by Catatan Al-Hoema, Facebook

 

Rumah Dialog, 28 Oktober 2010

LABA LABA BERMATA UNGU

Aku laba laba jantan bermata ungu

berdiam di kaki angkasa yang jauh

memintal sarung sutra

dari sum sum tulangku

 

Aku pertama dari empat yang ada

kakakku satu saja perempuan penuh berkah

dua yang tersisa jantan semua

 

Aku jantan yang terbuang jauh

mengulur serat-serat putih

merajut lingkaran satu satu

 

Aku bersua angkasa di januari

bulan penuh basah

daun daunpun bersorak menyapa:

selamat datang laba laba kecil

selamat berjuang untuk tiada

 

Aku menari sendu merasai bayu

berdiam di ayunan dekat gubuk

menunggu serangga hijau lumut

dalam jarak yang tak jauh

satu sentimeter saja

 

Aku laba laba jantan bermata ungu

jejakan kaki ringkih

lima belas kilo yang jauh

terjebak kerangkeng barak serdadu

terpaku nasib di penjara penuh tipu

 

Dua kemarau saja

aku terbawa angin beliung

terbangkan aku yang dendam

yang miris lihat kumbang

kodok dan awan yang kecil

 

Dari kejauhan malam tadi

mereka lantang berkata

Cukup sudah !!

 

Waroeng KIRI, 2005

Minggu, 31 Oktober 2010

MAKHLUK DARI RAWA-RAWA ITU, LEBIH BAIK DIBUNUH MATI SAJA


Saya tiba di Alor, meniti tanah Mali bandara kecil yang menjemput. Mobil ambulance tua yang saya tumpangi tiba di Teluk Mutiara. Disini saya lalui waktu sepekan melepas penat Kupang, nikmati suasana laut yang tenang tanpa hingar bingar musik dan panas yang melengket di baju.

Dari Manaseli hingga Rawa-Rawa
 Ina bobo oo ina bobo, kalo tidak bobo, digigit nyamuk.”,  sontak gelak tawa menggelegar. Hari itu, Selasa 19 Oktober 2010, sekolah bersama dilangsungkan. Partisipatory Learning And Action (PLA) untuk calon Fasilitator Malaria tingkat Kecamatan di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Pelatihan yang digagas Dinas Kesehatan Kabupaten Alor merupakan metode pelatihan yang belum lama ini di kembangkan UNICEF, model pendekatan ini berhasil di Halmahera Maluku dan kini ada di Nusa Tenggara Timur.

“Kami datang dari Manaseli. Manaseli artinya tempat yang jauh. Di manaseli, warga kami banyak demam dan mati dimangsa Tiping. Tiping itu Nyamuk, jadi kalau bertemu nyamuk jangan hanya di kebas tapi dibunuh mati. Bakal tiping biasa hidup di rawa-rawa”  

Mereka kaum biasa dari kampung yang jauh, ada yang datang dari Pulau Pantar, kampung kampung di balik bukit Kalabahi. Mereka datang dengan menumpang kapal motor, oto bis. Di kalabahi kisah kebersamaan itu terjadi. Lima kelompok terbagi habis ada Manaseli, Tiping, Demam, Jentik dan Rawa-rawa. Tiping dalam salah satu bahasa lokal di Pulau Alor berarti Nyamuk. Jentik nyamuk umumnya hidup di Rawa-Rawa dan dari rawa rawa tiping dewasa terbang leluasa, mereka seperti drakula mengisap darah darah warga.

Semula peserta menganggap PLA seperti pelatihan yang sudah-sudah, jenuh, ceramah dan melelahkan. Ternyata, semua terpatahkan PLA sungguh jauh berbeda, ini lebih dari sekedar pelatihan, ini Sekolah Belajar Bersama. Seluruh peserta menjadi juru bicara untuk dirinya sebab masing-masing punya pengalaman terbaik dan unik, semua peserta adalah Narasumber.

Mereka saling berbagi pengalaman tentang situasi Malaria di tempat mereka masing-masing, membicarakan tentang vektor dan epidemologi malaria dalam bahasa sehari hari. Peserta tampak menyukai sekolah bersama ini, tak ada istilah tinggi dipakai, semua ditantang gunakan bahasa lokal, dialek lokal. Kemampuan peserta diukur bukan dari kehebatan mereka menghafal sejumlah kata ilmiah dan medik tetapi sejauhmana mereka mampu menerjemahkan hal hal yang “ruwet” itu lewat bahasa keseharian warga di tempat mereka bermukim dan bertugas.

Hantu itu bernama “Malaria”
Sesekali mereka saling berdebat demi sebuah jalan keluar bersama yang terbaik, mereka lebih sering bergumul dengan kelompok, saling bercerita, menyalin dan menggambar. Ketika memasuki hari ketiga, seluruh peserta melakukan penelusuran desa. Saya ingat betul bagaimana suasana bathin saya pribadi di lapangan. Di pinggang pantai itu, tengah terik mentari yang mengguyur, satu persatu warga berkumpul, berjejer melingkar, “Bapa mama kita duduk di bawah saja, ta usa korsi” Sapa Sebastian, pemimpin di kelompom yang saya dampingi, “Begini bapa mama kami mau tanya bapa mama, tau tidak apa itu Malaria?” “Kami tau itu penyakit yang buat orang mati banyak disini” Jawab salah seorang Warga.  “Bapa tau tidak, gejala malaria” tambah Sebas. “Iya bapa kami tahu, kalo kena penyakit malaria, kepala sakit, ulu hati pedis, demam demam dan mual”  Warag serempak menjawab.

Perjalanan menelusuri dusun sungguh mengasyikan, banyak rawa rawa yang dijumpai. Kami kian menyadari bahwa Malaria benar benar menjadi hantu yang menakutkan bagi warga semua kampung di Alor. Alor menjadi bagian dari wilayah di NTT yang termasuk tinggi angka kematian penduduk karena Malaria. WHO memperkirakan tak kurang dari 30 juta kasus malaria terjadi setiap tahunnya di Indonesia, dengan 30.000 kematian, sementara NTT menjadi Provinsi yang amat tinggi angka kesakitan akibat Malaria dan salah satunya di Alor.

Data Depkes RI tahun 2005 menunjukkan bahwa NTT memiliki angka kesakitan malaria 150 per 1.000 orang per tahun, diikuti oleh Papua, 63,91 kasus per 1000 penduduk per tahun. Di tahun 2004, dilaporkan tidak kurang dari 711.480 kasus malaria klinik terjadi di NTT, dimana 20% dari 75.000 slide darah yang diperiksa positif malaria. Bahkan data Depkes (2000) menunjukkan bahwa tidak kurang dari 73% kasus yang diobati di puskesmas dan rumah sakit di NTT adalah malaria (Ermi Ndoen)

Malaria berpotensi menular dan diderita warga yang hidup di daerah tropis dan sub tropis. Penularan penyakit malaria dari yang sakit kepada orang sehat, sebagian besar melalui gigitan nyamuk. Bibit penyakit dalam darah manusia dapat terhisap oleh nyamuk berkembang biak dalam tubuh nyamuk dan ditularkan kembali kepada orang sehat.

Hanya Rindu Ngiang Dorakado
Tanpa terasa pelatihan PLA itu telah berakhir. Kini mata saya terpaku membaca Mali, plang bercat putih bandara itu, waktu sungguh berlari. Mali, terminal yang menjemput dan mengantar pulang itu kini telah jauh, hanya rindu ngiang dorakado. Kenangan terserak dalam benak tentang mereka yang datang dari tempat yang jauh, teluk elok, sup ikan gurih serta kisah tak terlupa di aula kota Kalabahi. Sambil mengusap keringat dan lengket debu dijidat, kaki saya meniti turuni tangga-tangga baja, gemuruh baling-baling sekejab senyap. Dari tempat yang jauh masing jelas terngiang ucapan para peserta, “Nyamuk jangan hanya dikebas, kalau ada Nyamuk, lebih baik dibunuh mati saja” (f)

Rabu, 27 Oktober 2010

MBAH MARIDJAN (TIDAK) MATI KONYOL

Dua facebooker di Facebook saya berkomentar, “konyol, hanya untuk pengkultusan seorang Maridjan? orang berani mati itu banyak, tapi orang yang berani hidup sangat langka. (Eka Hiroshi), sesaat memberi tanggapan atas kematianWahyu Nugroho, Jurnalis Viva News karena niat suci menyelamatkan Mbah Maridjan (27/10)
 
Seorang lainnya mengumpat, pelajaran yang aneh buat manusia yang konyol, sudah tahu gunung mau meletus tapi gak mau pergi. tuhan ngasih manusia otak buat apa” (Alen Nizametal). Memberikan komentar perihal status Facebook saya “Perginya Sang Pemimpin: Sebuah pelajaran Terhebat Hari ini” (27/10)

Sungguh saya terkejut dengan dua komentar ini dan barangkali ada banyak komentar-komentar serupa di Facebook atau media Online lain hari ini. Bathin saya tiba-tiba berucap, “kiranya kelak waktu ketika kematian datang menjemput anda, orang-orang tak mengatakan hal yang serupa”
Saya harus bilang bahwa hari ini orang begitu mudah mengumbar omongan, menuduh orang lain tanpa terlebih dahulu memeriksa latar belakang peristiwa, keyakinan yang hidup di lereng Merapi dan di Keraton Yogyakarta. 

Tidak Mati Konyol
Ketika diwawancarai Viva News, melalui mendiang Yuniawan W Nugroho (25/10), Mbah Marijan bertutur, “Saya masih kerasan dan betah tinggal di sini. Kalau ditinggal nanti siapa yang mengurus tempat ini,” Ia kemudian melanjutkan, “Sebaiknya kita berdoa supaya Merapi tidak batuk” (Viva News.com)

Mbah Maridjan representasi warga kebanyakan. Warga kecil yang telah mati berulang-ulang dan kembali mati hari ini. Maka menjadi begitu sombong ucapan sinis diatas, inilah jaman ketika orang menganggap rationalitas melampaui segalanya. Bagi saya, Mbah Maridjan adalah sosok yang pantas untuk dipanuti, dia seorang pemimpin publik ,minimal bagi publik di lereng Merapi. Ia pemberani yang menunjukan sikap dan kesetiaan tanpa pamrih. Sikapnya sungguh langka di era rational hari ini. 

Ia juga menjadi cerita tentang sosok yang berani menentang titah siapapun, demi tugas pelayanan yang sedang diembanya. Masih teringat tahun 2006, ketika Gunung Merapi mulai aktif. Saat itu semua orang menganjurkan Mbah Marijan untuk mengungsi, termasuk mendiang Gus Dur dan Sri Sultan Hamengku Buwono X, tetapi Mbah Marijan bersikeras bahkan berjalan meniti lereng Merapi. Entah apa yang ia lakukan tetapi semua orang kemudian tahu bahwa Mbah Marijan melakukan ritual, hingga muncul ucapannya, “tak apa-apa Merapi sedang membuang hajatan saja”.

Hari hari ini ketika Gunung Merapi kembali aktif, Mbah Maridjan melakukan hal serupa, sikapnya tak jauh berbeda dengan sikapnya di empat tahun silam. Dia, Marijdan bersikeras tinggal di rumahnya, yang jaraknya lebih kurang 4 kilometer dari puncak Merapi. Kepada beberapa jurnalis ia bertutur, “apapun nanti yang akan terjadi saya tidak turun”. Demikianlah akhir kisah hidupnya Mbah Marijan ditemukan mati terbakar dalam posisi orang berdoa di rumahnya pada tanggal 27 Oktober 2010. 

Juru Kunci Merapi
Pria bernama asli Mas Penewu Suraksohargo ini lahir tahun 1927 di Dukuh Kinahrejo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi DI Yogyakarta. Hingga wafatnya ia memiliki seorang Istri bernama Ponirah, 10 orang anak (lima diantaranya telah wafat), 11 orang Cucu dan 6 orang cicit.
Pada tahun 1970 Mbah Marijan diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta dan oleh Sultan Hamengku Buwono IX diberi nama baru, yaitu Mas Penewu Suraksohargo 1. Ia diberikan jabatan sebagai Wakil Mantri Juru Kunci mendampingi Ayahnya yang ketika itu menjadi Juru Kunci Gunung Merapi. Setelah ayahnya wafat pada tanggal 3 Maret 1982, Mbah Marijan diangkat menjadi Juru Kunci Gunung Merapi. Sungguh, hingga ajal menjemput ia sosok yang setia menjalankan tugas yang diembannya.

Para Pembesar Harus Bertindak Benar Agar Alam Tentram
Orang lupa bahwa Maridjan itu bukan saja pribadi yang merdeka tetapi seorang yang telah merelakan kemerdekaannya untuk banyak orang, ia bukan seorang “Pilatus” yang mencuci tangan di saat semua orang membutuhkan sikap seorang pemimpin. Mbah Marijdan menunjukan kesetiaan dan tanggung jawabnya dimana selalu “ada bersama” warganya. 

Diakui atau tidak, Mbah Maridjan itu sosok yang kontroversial disatu sisi dan sangat dekat dengan alam Merapi di sisi lain. Hingga ajal menjemputnya tak sedikit orang yang tetap berlaku sinis, tetapi tak sedikit orang yang menghormatinya. Ia mati bersama warganya, ia tak melarikan diri atau ikut mengungsi, ia setia hingga ajal.
 
Dalam berbagai komentar orang-orang mengatakan, “jika dia seorang pemimpin maka tentu dia mau turun sehingga warganya ikut turun” Secara rational ucapan ini ada benarnya tetapi inilah Misteri, tak seluruhnya bisa terjelaskan, yang pasti Mbah Maridjan tak pernah meminta warganya untuk tidak turun, ia bahkan bertitah agar warga mengikuti saran Pemerintah, “Saya minta warga untuk menuruti perintah dari pemerintah, mau mengungsi ya monggo”. 

Ia menghadap Sang Pencipta dalam sujud kepasrahan, entah apa yang ia doakan tetapi jika menelusuri ucapan-ucapannya, ia tak pernah berhenti menasihati orang untuk selalu panjatkan doa dan suatu ketika ia berkata, “para pembesar harus benar dan bertindak sebenarnya, agar alam tenteram” (detik.com) - Terima kasih Mbah. Selamat Jalan!! (f)

Referensi: Viva News, Detik.Com, Kompas.Com

Selasa, 12 Oktober 2010

LUPAKAN SEJENAK ANGKA ANGKA ITU

Suratmu baru saja tiba, hmm perjalanan yang jauh rupanya, aku merasakan sungguh, suratmu ini begitu lelah. okelah tak mengapa, walau begitu ia sudah tiba dengan selamat dan kini ia ada dalam genggamannku.

SPID!

Sebelum kubalas suratmu, berikan sepotong lagu ini pada Durito, atau perdengarkan saja padanya, jika ia tak sudi menerima bingkisan ini: http://www.youtube.com/watch?v=pJD5kcMP3fM&feature=related

Ini pesan terbaru dariku untuknya, katakan ini padanya:

apa yang kita lawan sejak lampau; bukanlah melawan siapa-siapa meski memang untuk siapa-siapa (juga) bukanlah kepada siapa-siapa melainkan kepada sesuatu-sesuatu. Kedengarannya absurd tetapi sesungguhnya sesuatu yang kumaksudkan ini, diam bersembunyi di dalam diri siapa-siapa. Dan, kita berjuang untuk membangunkannya, menjadikannya ada dan setelahnya seluruh kita bahagia selamanya.

“ Bagai kotoran. Disana aku ada. Disana aku menggali. Disana aku membenamkannya. Aku? Dimana? Aku ada. Aku tak ikut terbenam. Itulah aku, diriku, Scaribo, kumbang paling rupawan, dari segala jenis kumbang, termasuk kumbang-kumbang seperti dirinya..” Hehehehe

Katakan padanya, “ini bukan tanah Mexico, jangan dia kira dengan segepok teorinya, ia mampu mengubah pulau-pulau ini. Aku, Scaribo, meng-ilhami lagu ini, tapi tak seluruhnya harus ku-tanah-kan: karena tanah airku bukanlah tanah Mexico”

SPID!

Sudah ku-preteli suratmu, telah kulumat habis isinya. Aku bertanya pada-mu: apakah hanya untuk 10.10.10 kau undang aku? Kuharus katakan ini padamu: “..di sini angin kencang kembali berhembus; terik panas kembali menyengatku; sedang kuseka bulir bulir keringat yang tumpah. Sesaat setelah suratmu tiba, aku tengah berkemas dan memanggul ransel..”

Aku tertawa membaca sepotong catatan-mu, maaf, aku diam-diam meledekmu. Kau tampak takut. Tidak! Aku slalu ada, ini hanyalah setangkai cara. Bertempur caraku mirip dirimu yang sedang tumpangi gelombang ombak di atas busur panah papan-papan Sky di Kuta.

SPID!

Disini bagai dongeng yang merintih, ketika cuil-cuil gairah ikut terkubur. Orang-orang sesak, mereka muak dengan ucapan dan teori-teori; mereka hanya ingin terbebas segera dari belenggu dan tipu daya. Segala orang sedang gelisah; bibir-bibir mereka tercekak. Seluruh gunung sedang kuburi semua mimpi.

Maka, kuingatkan kau: “..jika disana kau dapati hal yang serupa, bolehlah kau larut bersama, tapi janganlah ikut terhanyut. Jikalau, angin dari atas kuat berhembus, maka segera gali lubang-lubang pertahanan.: katakan pada tanah, kau karib terbaikku, yakinlah. tanah tak akan sungkan membantumu kelak..”

Disini, aku terheran-heran; tak sedkit yang memandangku cakrawala mereka: “..maka aku menjadi begitu tak setuju padamu, ketika kaupun serupa. aku bukanlah panglima perang atau ahli strategi itu? Aku hanyalah seekor kumbang, yang berjuang dengan naluriku” Masih kusimpan sajak terakhirmu. Ini sajak yang mengerikan kukira:

Aku bersua angkasa di januari
bulan penuh basah
daun daunpun bersorak menyapa:
selamat datang laba laba kecil
selamat berjuang untuk tiada…

Sajakmu ini, peta jalan itu. Melingkari tembok tembok; seribu kali masuki arus sungai yang mengalir; tundukan hewan-hewan air yang buas lalu tiba dan menjadi tiada. Hmm, kusetujui ini.

Akan kukirimkan utusan untuk menemuimu sebelum 101010. Saatnya hampir tiba. Aku kini masih berada di tepian jurang yang lebar menganga. Sedangkan, arah jalan menuju rimbamu, penuhlah jalan yang berkelok, harus melompati tembok, menyusuri seluruh lintasan sungai sungai. Jika kau memang ingin aku ada, maka lupakan angka-angka itu sejenak dan tunggulah aku.

Ku-akhiri suratku ini, sembari menyeruput kopi dan nada nada ini (oh iya, lagu ini bingkisan dari sahabat terbaikku)

http://www.facebook.com/profile.php?id=1410621473&v=app_2392950137#!/video/video.php?v=108764129185358

Salam paling Karib dariku,
Kumbang tanah paling rupawan,

SCARIBO

Catatan: Scaribo, berasal dari kata Scarab, sejenis kumbang yang hidup dekat kotoran (binatang/manusia) dan membuat lubang-lubang disekitarnya. dalam tradisi bangsa mesir sejak era firaun, scarab dianggap mistik.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Beberapa Istilah Mengenai Brand

oleh : Istijanto Oei

Brand/Merek meskipun kedengarannya simpel –hanya berupa nama atau logo yang berguna untuk mengidentifikasi dan membedakan diri dari pesaing– namun kalau dikaji lebih jauh, makna dan impeknya ke dalam diri konsumen bisa sangat dalam. Tak heran, para pakar di bidang merek mencoba melihat merek dari berbagai sisi. Dari sinilah muncul banyak istilah atau ukuran berkaitan dengan merek, seperti brand awareness (seberapa besar suatu merek dikenal di otak konsumen), brand preference (apakah suatu merek disukai), brand personality (bagaimana sifat suatu merek kalau diumpamakan sebagai manusia), brand image (seberapa bagus atau buruk citra suatu merek dipandang konsumen) sampai brand equity (seberapa besar nilai suatu merek).



Berkaitan dengan pertanyaan pak Soni, ada empat istilah yang ingin diketahui yaitu brand attachment, brand involvement, brand commitment dan brand self expression.



Brand attachment menggambarkan seberapa kuat kelekatan atau ikatan (bonding) suatu merek dalam diri konsumen secara kognitif, emosi (perasaan) atau spiritual. Merek yang memiliki brand attachment tinggi membuat konsumen merasa dirinya lekat dengan merek itu secara emosional. Konsumen juga akan menghubungkan dirinya dengan merek itu. Untuk memudahkan penjelasan, sebagai contoh di sini adalah merek klab sepakbola. Penggemar merasa memiliki ikatan batin dengan klab tertentu dalam hatinya. Misalnya penggemar Manchester United (MU) merasa memiliki brand attachment dengan MU. Begitu nama MU disebut, muncul perasaan ada hubungan dengan MU.



Ikatan suatu merek dengan konsumen juga dapat dilihat lebih dalam lagi dari segi keterlibatannya terhadap merek (brand involvement). Brand involvement menunjukkan seberapa penting suatu merek dalam diri konsumen. Brand involvement yang tinggi mampu menggerakkan konsumen untuk terlibat lebih jauh dengan merek. Sebagai contoh, kalau MU datang ke Indonesia, penggemar yang memiliki brand involvement tinggi sudi terlibat lebih jauh karena merasa MU sangat penting bagi dirinya. Misalnya menjadi panitia sukarela menyambut MU.



Bagaimana dengan brand commitment? Brand commitment menggambarkan dedikasi konsumen terhadap suatu merek (affective commitment) dan juga seberapa besar tekad konsumen untuk terus mau memiliki hubungan yang kuat dengan suatu merek (continuance commitment). Konsumen yang memiliki brand commitment tinggi tidak membagi komitmennya dengan merek lain. Sebagai contoh penggemar MU mau berjuang untuk MU, hanya membela MU, atau melakukan sesuatu yang lebih untuk membuat MU semakin berjaya.



Istilah-istilah di atas menunjukkan bagaimana suatu merek bisa memiliki hubungan atau kelekatan yang kuat dalam diri konsumen. Kelekatan dalam diri konsumen (internal) yang kuat ini dapat diungkapkan ke luar (eksternal). Inilah makna brand self expression. Sebagai contoh untuk merek MU tadi. Penggemar kemudian mengungkapkan (ekspresi diri) dengan memakai kaos merek MU, handuk MU, mug MU, dan pernak penik MU lainnya. Konsumen tidak malu, sebaliknya justru memamerkan atau terang-terangan mengekspresikan diri dengan merek itu. Merek yang memiliki brand self expression tinggi membuat konsumen merasa bangga dan mengungkapkannya. Merek Harley Davidson juga memiliki brand self expression yang tinggi sehingga konsumen yang memakai dengan bangga menunjukkan jati dirinya sebagai bagian dari Harley Davidson. Inilah kekuatan merek yang dahsyat sehingga bisa masuk dalam diri konsumen secara dalam. Merek tidak hanya sekadar nama namun bisa merasuk di aspek kognitif, psikologis, spiritual, atau emosi konsumen. Semoga uraian ini menambah wawasan dan pemahaman tentang merek.



Istijanto Oei, faculty member Prasetiya Mulya, konsultan bisnis dan penulis buku “Marketing For Everyone”, www.istijanto.com

Rabu, 22 September 2010

Belajar dari La Furia Roja

Sejumput kalimat yang dulu pernah hinggap di ponsel kumal saya, “jika saat ini anda jatuh maka belajarlah ketika bangun”. Kalimat itu kini kembali menari-nari di kepala sejak mendapati Spanyol menjadi juara Piala Dunia Afrika Selatan 2010.

Saya barangkali sama dengan anda dan sebagian besar manusia di planet ini yang tak menduga piala dunia ada di genggaman Spanyol. Yang terpikirkan dan yang juga saya jagokan justru Brazil. Sementara selain itu ada Portugal, Jerman dan Argentina.

Kembali melihat kalimat diatas, maka perjalanan tim berjulukan La Furia Roja itu sedikit tidaknya mirip betul dengan kalimat itu, “jika saat ini anda jatuh maka belajarlah ketika bangun”. Ini cerita tentang La Furia Roja yang langsung tumbang pada laga perdana mereka melawan keseblasan Swiss 0:1. Visi kita ada di akhir. Barangkali ini yang terus menerus hinggap di benak anak-anak asuh Del Bosque.

Alkisah, Iniesta yang baru sembuh cedera itu berhasil merobek jala kompeni pada menit 116 dan benar La Furia Roja lolos di akhir. Lantas pelajaran berharga apa yang pantas untuk kita maknai? Tentu saja daya tahan, kerjasama tim dan kesabaran merawat Visi. Visi Spanyol adalah menjadi pemenang dan mereka telah memenangkannya. Mimpi mereka adalah menyatukan dua gelar Piala Eropa dan Piala Dunia dan kini terbukti. Mari belajar lagi ketika bangun !! (farisW)

Rofina Tak Percaya Puskesmas

Diantar Pak Kades, sepeda motor itu melaju cepat dan berhenti dilintasan jalan persis di mulut sebuah rumah. Dalam bathin saya bertanya-tanya, rumah siapakah ini?

Faubata sebuah desa di Kota Bajawa, Nusa Tenggara Timur. Melintasi desa ini dua puluh tahun silam tentu berbeda, kini Faubata terbilang maju. Pembangunan infrastruktur menghadirkan denyut yang khas. Faubata kini telah berubah, banyak dijumpai rumah-rumah dengan arsitektur Modern saling berapit. Sejenak mengingat Faubata yang lampau adalah mengingat stasiun bensin satu-satunya di Kota Bajawa, gudang beras Dolog, stasiun PLN dan air terjun Ogi. Semuanya masih ada, namun tak lagi menjadi khas. Faubata telah berubah, arah pembangunan kota tampaknya bergeser ke desa ini. Di lintasan jalan Faubata inilah saya berdiri.

Tak beberapa lama rombongan tim promosi kesehatan (promkes) tiba di pinggang jalan yang sama. Rumah siapakah ini? Kembali bathin saya bertanya, tentu saja karena wajah rumah ini sedikit kontras dengan rumah-rumah lainnya disekitar. Rumah yang dibangun seadanya.

Tampak dinding ruang tengah penuh tempelan koran dan stiker, ada jam dinding yang menggantung, tampaknya oleh-oleh dari konstestan Pemilu Kada. Ruang yang lembab beralaskan tanah, hanya satu meja kecil dan kursi reot berjejer. Terus saja, saya mengamati satu-persatu dinding penuh kertas itu,lalu melangkah ke arah pintu utama. Tampak dua drum bekas galian aspal berjejer menampung air bekas tirisan hujan, juga beberapa bibit pohon kurus yang tergeletak begitu saja di halaman.

Tak berapa lama seorang Ibu datang, mempersilahkan kami duduk. Wajahnya terlihat keheranan karena rumahnya dikunjungi. Sementara rombongan yang lain membagi diri ke rumah-rumah penduduk disekitar. Tinggalah saya berdua dengan seorang Ibu muda Staf senior Dinkes.

“Ibu saya tidak mau periksa, dulu setelah lahir anak kelima, saya pernah ke rumah sakit, terus saya disteril, katanya biar tidak hamil lagi. Tapi ternyata, saya hamil lagi, sekarang saya punya anak ada sembilan” Demikian Rofina, Ibu yang tampak pucat itu bertutur. Rofina mengakui bahwa ia tak lagi percaya dengan sistem KB di rumah sakit. Ia lalu bercerita tentang kesehatan dirinya yang kini terus memburuk. “Saya sering pusing jadi saya tidak kemana-mana saya di rumah saja”.

Lantas bagaimana dengan sekolah anak-anak, tanya kami. Anak saya yang pertama sekarang sudah kerja jadi tukang ojek, yang kedua masih SD tapi sudah tidak mau sekolah lagi dan yang lain masih kecil-kecil. Ujarnya, sambil menunjuk satu persatu anaknya.

Tampak oleh kami anak-anak yang tak terurus. Baju dekil seadanya menambah muram. “Dua anak saya yang paling kecil belum di imunisasi, tapi mereka tidak apa-apa, sehat-sehat saja. Anak rofina yang paling bungsu berusia setahun sedang tergeletak bermain tanah ditemani saudari-saudarinya yang lain. Pengakuannya sejak anak pertama hingga bungsu, proses persalinannya dibantu dukun.

Kami tersadar Ibu Rofina yang baru berusia 40 tahun itu ternyata memiliki 9 orang anak yang masih kecil-kecil. Kesehatannyapun buruk, namun tak ada niat apa-apa untuk memeriksa kesehatannya ke Puskesmas atau Posyandu. Rofina mengidap penyakit yang akut. Saat yang sama kami menghadapi situasi anak-anak Rofina yang tak sekolah itu. Lalu…….?

Bumbu “yang Merawat” Ingatan

“Saya menangis ketika tahu, Istri dan Anak saya telah mati. Padahal saya sudah berjuang menolong mereka”

DEMIKIAN testimoni seorang Bapak, yang baru saja ditinggal mati, Istri dan anaknya. Testimoni terbuka ini terjadi di salah satu ruang Komisi DPRD Timor Tengah Selatan (28/07/2010). “Saya mendapat kabar bahwa Istri saya mengalami pendarahan. Lalu saya segera membawa mereka ke Rumah Sakit Soe agar segera ditolong. Saat itu sekitar pukul 15.00 Wita. Setiba di RS Soe, saya merasakan pelayanan yang amat lambat dan birokratis, alasan klasik petugas membuat saya kalut. Kondisi istri anda sudah parah mesti di bawa ke RS Kupang saja, disini Dokter Spesialis dan peralatan medis tak lengkap”

Ditambahkan “Ini terjadi ketika waktu sudah berjalan beberapa jam. Segera saya dan keluarga siapkan Oto (mobil) untuk ke Kupang. Kami tiba di Kupang subuh pagi sekitar pukul 03.00 Wita. Disini pelayanan kacau sekali. Dokter tak ada di lokasi. Petugas hanya minta saya sabar, menunggu hingga Pukul 08.00 Wita. Tak berapa lama ketika Dokter datang dan memeriksa. Saya tergesa dipanggil petugas. Saya melihat istri saya sudah dibantu dengan pernafasan buatan. Dadanya diguncang-guncang dan akhirnya Istri dan anak saya mati. Saya menangis ketika tahu, Istri dan Anak saya telah mati. Padahal saya sudah berjuang menolong mereka”

KORBAN (YANG) SERTAKAN KITA

Bergidik bulu roma, ketika saya mendengar ucapan Sang Bapak. Saya yang disampingnya waktu itu hanya terdiam. Ini gila. Wajar saja jika seorang Ibu yang terkena kasus pendarahan ketika hamil tak akan mungkin tertolong. Saya berguman sendiri. Kisah Sang Bapak adalah cerita Korban. Narasi diatas hanya setitik debu kecil yang hadir di bumi NTT. Mereka korban dari salah kelola Negara, Korupsi, korban dari egoisme aparatus. Sang Bapak adalah korban, sehingga turut menyertakannya dalam perjuangan politik adalah kemutlakan. Ini sekaligus menghindari klaim sepihak dari kelompok kepentingan tertentu yang selalu menutupi fakta di lapangan.

Pengalaman langsung korban mempunyai getaran yang berbeda ketimbang mereka yang tahu hal ini dari getir cerita, buku atau studi kepustakaan. Bagi sebagian besar kita pernyataan saya ini bisa dibantah dengan memilahnya dari sisi pendekatan (positivis-teoritik vs empirik-partisipatif). Jika disuruh memilih, saya cenderung memilih yang kedua. Dimana memasuki pintu pengalaman korban, lalu terlibat dan berpijak menjadi pintu masuk untuk pilihan sikap berpihak.

Ini berangkat dari situasi dimana pilihan untuk menggugat realitas harus dibarengi dengan upaya nyata merubah. Hal ini menjadi kian relevan ketika ingatan publik kian menipis di tengah gempuran revolusi media. “Kita sedang menghadapi virus egoisme modern”, Ujar Sindhunata.

Hal ini kian kontekstual ketika berjumpa dengan “Solidaritas Mekanik” yang tumbuh karena trend. Solidaritas yang terbentuk karena perspektif yang diayunkan oleh sekelompok manusia yang berkepentingan, dimana pencitraan lebih utama daripada content; kamuflase lebih menarik ketimbang fakta. Ini juga menjungkirbalikan arus gejala yang meletakan sebuah peristiwa sebagai peristiwa semata. Seperti ucapan sahabat saya yang bernada putus asa beberapa hari lalu, “sudahilah menulis ris, tokh..yang terjadi orang hanya merespon sesaaat, memuji-muji lalu pergi. Barangkali ketika ia memberi komentar sedang dalam toilet” Saya tertegun sesaat tanpa komentar saya menimbang-nimbang dan saya putuskan untuk tetap saja menulis. Tak bisa semua orang dipandang sama.

Dalam perjuangan politik hanya korban saja yang jujur bicara tentang apa yang dirasakannya. Sehingga menjadi bagian dari korban dalam segenap perjuangan politik menjadi sesuatu yang mutlak. Inilah yang disebut perjuangan ideologis. Perjuangan ideologis menuntut keterlibatan kongkrit bersama korban. Hal ini bukan menyerahkan sepenuhnya tuntutan kepada korban. Penyertaan kita oleh korban dalam seluruh aspek pergerakan protes, perlawanan dan tuntutan harus menjadi tantangan baru. Untuk konteks ini, positioning kaum pegiat HAM harus seperti layaknya Fasilitator. Fasilitator yang punya senjata untuk mendengar, bertanya dan me-reframing (menjahit). Sehingga tuntutan yang keluar adalah tuntutan korban bukan donatur asing atau LSM tertentu.

DIKALA RANTAI SOLIDARITAS (ANTAR) KORBAN SALING MENJAHIT
Di Jakarta, KontraS sebuah lembaga yang concern dalam perjuangan HAM, paling tidak sudah memberikan inspirasi dengan menggagas IKOHI. Di dalam IKOHI inilah tergabung sejumlah korban dan keluarga korban. Secara intens IKOHI menggelar beragam pertemuan dan melakukan aksi-aksi. Hal ini tentu saja menjadi monumen dan menjadi jawaban nyata ditengah semarak pendapat yang kerapkali menggeneralisr tentang ingatan manusia Indonesia yang pendek.

Walter Benyamin, seorang penulis Jerman pernah bertutur “ada semacam janji keramat antara generasi lalu dan sekarang, yaitu kehadiran kita di muka bumi ini dinanti” Maka korban tetap saja hidup tanpa uluran tangan langsung mereka para pelaku, mereka bisa menikmati seabrek kebebasan dan kesejahteraan jabatan, maka “Kematian tidak meniadakan seseorang, hanya naluri pembunuh yang menghendaki seseorang lenyap. Para korban yang meninggal hidup di dalam ingatan”” tambah Emanuel Levinas.

Dan kelak waktu ketika rantai solidaritas antar korban saling menjahit, maka sesuatu yang mungkin tak terduga akan terjadi. Tunggu saja. Dadaa..aa..(f)

SOBATKU. Demi masa depan, ketahuilah, bahwa untuk melawan lupa, dibutuhkan bumbu-bumbu perawat ingatan, selanjutnya, sertakan setangkai Cinta untuk memasaknya, dan jangan lupa berdoa dulu, sebelum menyantapnya agar jadi tenaga. Itu saja

Daftar Pustaka:
1. Majalah Basis, Nomor 01 – 02, Tahun ke-54, Januari – Februari 2005
2. Majalah Basis, Nomor 09 – 10, Tahun ke-57, September – Oktober 2008

GARPUTALA KECIL YANG TERLUPAKAN

INGIN kuceritakan padamu tentang kisah ini. Kisah garpu tala kecil, yang kini tinggal sendirian di sudut lemari, dilaci paling bawah, dibalik buku buku tua.

ALKISAH. Pada jaman ketika gedung megah itu belum ada dan kota ini masih muda. Garpu tala selalu berjalan-jalan kemanapun ia mau. Ia selalu ada dikeramaian, di gedung Gereja, terminal, pasar juga sekolah-sekolah.

Sahabatnya seorang muda yang wajahnya tak sama sekali tampan. Orang muda yang hingga ketiadaannya tak diketahui namanya, dimana tempat tinggalnya itu kerap disapa Penala. Kelak waktu ketika ia menjadi tua jasadnya dilarungkan ke laut, bersama ikan-ikan ia hidup selamanya.

Alkisah di sebuah subuh, usai konser yang meriah di balkon kota. Garpu tala bertutur pada Penala, “ ..bertahun tahun sudah kita kitari kota ini, aku ingin sekali saja, menjelajahi kampung. Kota ini mulai bising, orang-orang tak lagi saling mengenal” Maka berucaplah Penala, “..aku juga merasakan itu, mari kita bergegas, susuri pinggang kota menuju Timur, barangkali disana ada cerita baru untuk kita”

Maka, berjalanlah mereka menuju Timur. Demikianlah, kedua sahabat itu tiba di sebuah kampung karang yang terjal. Angin yang terik telah melindas rumput dan pepohonan. Sejenak beristirahatlah mereka, dari kejauhan, terlihat orang-orang berlarian memanggul tangisan dipunggungnya. Ramai orang merubuti lapangan. Tersentaklah mereka. Kampung karang itu dilalap bencana, banyak Ibu mati binasa, anak-anak balita merenggang nyawa, biaya tiada obat-obatanpun juga. Gizi buruk begitu lekat. Sementara saban malam, para pemimpinnya sibuk berpesta, “Ini kampung yang aneh, ayo kita hentakan mereka dari kematian” ajak Penala.

Mulailah mereka seperti biasa, mencari dan menemukan nada. Ketika nada didapat, musik terngiang dan konser tercipta,terkumpulah keping-keping Koin dan menjadi banyak. Berjalanlah mereka kitari kampung demi kampung, membagi makanan,obat-obatan, membangun rumah-rumah singgah untuk Ibu dan anak-anak.

Alkisah. Tahunpun berlalu, kampung itu menjadi pulih. Orang-orang telah mampu membangun gedung-gedung rumah sakit yang megah namun Ibu Anak yang sakit belum seluruhnya tertolong. Tersibaklah cerita horor bahwa para penyamun, pencuri, perampok yang dulu terbiasa hidup di kota kini menguasai kampung.

Penala kini menjadi renta, berujarlah ia pada garpu tala. “Sebentar lagi aku akan kembali, aku ingin jasadku dilarungkan kelaut” Penalapun tiada. Orang-orang yang tak mengenalnya, memungut jasadnya membawa ke rumah sakit. Nyawanya dirampas keabadian. Lalu, tibalah seorang pemuda yang pernah mendengar kisah Penala. “Ijinkan saya membawa jasad Pak tua ini” Ujarnya. Maka dilarungkanlah jasad orang tua ke laut. Konon, ketika jasad hendak dilarungkan, garpu tala kecil jatuh bergemincing. Dipungutnya garpu tala itu dan diletakan di kantong bajunya.

Demikianlah. Dulu ketika kota ini masih muda, orang tua yang terlupakan itu memiliki nama untuk dirinya, “kenalkan, nama saya Penala” ujarnya. Penala adalah dia yang memainkan garpu tala. Maka demikianlah, setiap kali, ketika bersua, orang tua tak bernama itu selalu membawa garpu tala di kantong bajunya. Penala dan garpu tala tak pernah usai menyeimbangkan nada. Mereka tahu bagaimana memudahkan orang untuk bertemu.

Demikianlah. Mereka hidup berdua saja, namun konser yang tercipta menghidupkan orang-orang dari kekeringan. Pak tua yang terlupakan itu, acapkali memainkan garpu tala untuk memulai konsernya. Mereka sungguh saling memahami dan jika konser usai, Pak tua acapkali membersihkan garpu tala itu dan meletakan dengan hati-hati di kantongnya.

Alkisah. Ketika kampung mulai pulih, banyak orang lupa, jika dulu ada dua sahabat yang datang menolong dengan keapaadaan. Pak tua yang tak dikenal itu tak pernah menuliskan kisah ini, hanya pepohonan tua diseberang sana yang tahu, bahwa dibalik sejarah kota, tersebutlah Penala. Kehidupan telah berubah, alat-alat musik banyak tercipta tetapi Penala tahu bahwa nada yang seluruh orang mainkan belum mampu membangunkan orang-orang dari kekeringan.

DEMIKIANLAH kisah garpu tala, yang tubuhnya kini terjepit tumpukan buku, di kamar pustaka, sang pemuda. Garpu tala kecil, yang tubuhnya mulai berkarat yang panjangnya tak sampai sejengkal itu kini terlupakan. Dada..aaa

_____Oleh Faris Valeryan Wangge - Kisah ini terinpirasi dari Dongeng Subcomandante Marcos di Mexico Utara, Kisah Seuntai Awan Kecil. Demi Kesehatan ketahuilah bahwa untuk berjuang tak butuh buku-buku yang menumpuk cukup satu tindakan kecil dan berani. Itu saja (f)

Pa, Kenapa Laki-laki Itu Seperti Alien?

kelak jika anak gadisku jatuh cinta, apa yang harus kukatakan padanya, jika ia bertanya, “pa, kenapa laki-laki itu seperti alien?, hmm, mungkin saja, saat itu aku menjawabnya, “nak, lihatlah merpati, laki-laki itu seperti diatas sana, biarlah ia terbang tinggi mengangkasa, jangan kau ikat kakinya, tunggu saja nak, petang nanti, ia pasti kembali hinggapi ranting yang biasa ia jejaki”

anakku tentu tak setuju dengan jawabanku ini, “pa, merpati itu telah kulepas pagi ini..dan ranting yang biasa ia hinggapi telah kutebas. semoga ia bisa temukan ranting lain yang lebih kokoh untuk dia hinggapi”

apa yang harus kujawab, jika dijejali protes seperti ini. hmm, dengan sabar, barangkali saja, aku akan mengatakan padanya, “nak, papa tak pernah melihat alien, papa hanya bisa meminjam merpati untukmu. baiklah kalau begitu, papa akan ceritakan padamu tentang laki-laki.

“ayo, pa ceritakan pa”, seru anakku. “laki-laki itu seperti dirimu, bahkan jauh lebih perasa darimu nak. laki-laki itu juga egois sepertimu, yang tak pernah mau kalah jika berdebat, maka, jikalau kamu mencintai laki-laki itu, jadilah ia seperti dirimu.

anakku yang menggemari puisi itu, barangkali akan membantahku, “pa, itukan sajaknya sapardi, yang bilang, ….mencintaimu harus menjelma aku.., terlalu abstrak pa, aku ingin yang terang, seterang siang ini”. hmm, aku waktu itu mungkin langsung terdiam, dalam hati aku bilang, “hmm anakku, aku selalu kalah jika berdebat denganmu”.

lantas, anakku yang kupahami betul wataknya itu, akan dengan malu-malu mendatangi aku lagi dan mengatakan ini, “pa, baru saja merpatiku yang belum lama pergi itu tiba-tiba terbang berputar-putar di halaman rumah kita. aku tahu pa, ia mencari-cari dahan yang telah kumusnahkan tadi pagi. aku pura-pura tak melihatnya tapi hatiku terus saja mengawasi”.

berbinar anakku bercerita, “teruskan ceritamu nak, kataku. ia berapi-api melanjutkan, “sungguh pa, di luar dugaanku, ketika aku telah lelah mengejarnya, justru kini ia mendekatiku perlahan. kucari-cari jikalau ada bulir jagung yang tercecer di bawah gaunku yang usang, tapi tak juga kutemukan pa. aku heran, bukan bulir-bulir jagung kesukaannya itu yang ia cari”

“apa yang ia cari nak” tanyaku, “begini pa, ketika aku mencoba beralih ke tempat duduk yang lain, ia justru terbang dan hinggap di pangkuanku. dan baru aku tahu bahwa apa yang kupikir selama ini tak selalu benar. bukan dahan-dahan itu yang ia cari, bukan bulir jagung itu yang ia cari. tetapi lebih sederhana dari itu. ia hanya mencari belaian lembut dari tangan kosongku yang tulus. dan tatap mata mungilnya seolah berkata padaku agar tak mencobainya lagi”

hmm anakku begitu semangat bercerita, aku tertegun pada kalimat yang lancar mengalir itu. “lalu, nak, mengapa kau katakan laki-laki itu seperti alien? tentu memerah wajah anakku. lantas, kutahu ia akan balik bertanya , “hmm papa tersinggung ya, kalau papa yang juga laki-laki itu, disamakan dengan alien?

aku terbahak-bahak mendengar celoteh anakku ini. “baiklah, papa belum menjawab ini, kelak akan papa cari jawaban terbaik untukmu. papa hanya ingin kamu tetap menjadi dirimu, menjadi apa yang kamu impikan, yakinlah nak…papa selalu ada untukmu” (ff)

cerita kecil:

untuk wani sahabat baruku:

tengkiu untuk note-notemu yang menginspirasi

senja di 13 september 2010

Maut Berseru Seketika

“…Maut berseru seketika, dan saat ia tiba, tak seorangpun bisa menghindar. Aku mimpi aneh sekali tentang celoteh, pernyataan dan pamit. Kukira ini baik sekali. Ada suara dan tanda, aku mulai menerka bahwasanya, alam turut bicara ketika rintik yang tumpah, tak seluruhnya basah.Bagi seorang sepertiku, sejak lampau, saat ini hingga akan, selalu percaya, sahabat sejati itu berbicara hitam putih dan apa saja di muka.

Bagi seorang sepertiku, kematian telah berulangkali terjadi, maka sejak itupula, aku tak pernah takut hadapi apa saja: gerombolan atau goliat. Kematian itu keniscayaan, kehidupanlah yang abadi, maka inilah maklumatku padamu, pada anda kalian, bahwa kehormatan dan martabat jauh lebih abadi dari pada harta, kekuasaan dan perempuan.

Untuk itulah aku rela melepaskan seluruhnya. Ingatlah ini, seorang sepertiku ada banyak, maka waspadalah terhadap angin, ia kadang berhembus pelan dan memabukan, tapi bisa menjadi taufan yang melindas…”

Catatan: Siang ini sebuah buku tergeletak di hadapan saya, pada halaman 1303, mata saya memagut catatan, sebuah surat kecil yang disalin dengan tinta seadanya. Saya membaginya untukmu, mungkin saja berguna. Itu saja

Selasa, 31 Agustus 2010

Majalah sebagai alat fasilitasi?

Jika menghitung waktu, maka enam bulan sudah saya ada di Kota ini. Enam bulan waktu yang berlalu begitu cepat. Sepanjang enam bulan telah banyak yang coba untuk di kerjakan, tentu saya tak sendirian, ada beberapa sahabat yang sejak pertama kali hingga hari ini terus bersama.

Kehadiran di Kota ini, sesuatu yang tak terlintas. Dorongan datang dari beberapa sahabat. Ketika semua bicara, harapan yang muncul adalah bagaimana membuat segalanya lebih baru saja. Mari kita buat sebuah Social Enterprise yang ketika bergerak harus berefek pada dua aras, secara sosial mengena, secara financial mumpuni.

Bagaimana caranya? Disinilah pengembaraan dimulai. Semalam saya berbincang dengan seorang sahabat, saya menawarkan sebuah gagasan, bagaimana membangun sebuah media (majalah/tabloid) yang dapat berfungsi sebagai alat fasilitasi. Ini tantangannya. Maka kami mulai menganalisa. Jika yang sudah-sudah kebiasaan saya adalah memulai dengan isi media maka saat ini lebih dahulu menganalisa peluang/potensi pasar, baru setelahnya menentukan skup pemberitaan. (bersambung)

Kemenangan di dalam sini

Angin menapis awan, rintik melompat jatuh sekelebat saja. Ini kisah tentang rintik rintik hujan pada kintal, di jari-jari rumah. Rintik walau sesaat itu baik. Para tetua nenek moyang kami menyimpannya di lopo, di tiang langit penopang bulan. Rintik itu ayah, suami dari ibu kita, maka sembilan purnama waktu yang tak terlampau singkat.

Saya melihat akar marungga saling melempar senyum, sumringah pipi daun-daunnya. Saya melihar akar karang menggeliat, saling bercakap, “mari kita menyimpan rintik, agar tetumbuhan menjadi tumbuh dan seluruh badan tanah di pulau ini hijau menjadi bersih”.

Seorang berkata pada seorang lainnya, “marilah kita membangun tanggul penampung rintik”; seorang lain berkata, “bukankah tanggul itu diri kita?”; dan seorang dan lain-nya bertanya, “mengapa mesti rintik? Biarkan rintik mengelap kemarau, hasrat kita hanya menjadikannya berharga lewat hijau tetumbuhan dipekarangan siapa saja”

“baiklah, mari kita menyusun siasat agar rintik kembali jatuh”

Mereka, seorang dengan seorang, saling melirik, memadu senyum. Sejenak benang-benang kata menjadi tenunan, “Kemenangan hidup dimasa kini, bermimpi tentang masa depan, dan belajar yang terbaik di masa lalu”. Dalam sayup kami saling menoleh, dan tanpa dipandu, seluruh sigap berkata, “ Kemenangan ada disini, didalam sini, ayo, kita menggalinya”

usai belanja ide



Segenggam Angin

Baru saja kubasuh cinta yang menempel pada binar pada rintik pada mata itu. Aku tak sempat menghitungnya. Angin itu sekelebat cepat memagut. Tanah gersang hamil benih-jentik tumbuh. Aku taktahu apa karna sekeping rintik yang tumpah atau karna lapuk daunan. Sudah kuseka cinta yang mengalir dan kupastikan pada malam, aku menggenggam seluruh. Sial. Kutak bisa mengurainya. Kertas begitu lekat dan kata menepi garis-garis: bukankah anyam daun-daun menjadi banyak.

Sudahlah aku tak lagi percaya dinding. ia hanya setumpuk debu yang rapuh. cinta bukan hanya airmata yang jatuh bertumpuk-muntah kata malam tanpa malu atau wangi rambut yang terbungkus. Cinta hanyalah segenggam angin yang lewat aku tengah menghirupnya

Rabu, 04 Agustus 2010

BUMBU "YANG MERAWAT" INGATAN

“Saya menangis ketika tahu, Istri dan Anak saya telah mati. Padahal saya sudah berjuang menolong mereka”

DEMIKIAN testimoni seorang Bapak, yang baru saja ditinggal mati, Istri dan anaknya. Testimoni terbuka ini terjadi di ruang Komisi B DPRD Timor Tengah Selatan (28/07/2010). “Saya mendapat kabar bahwa Istri saya mengalami pendarahan. Lalu saya segera membawa mereka ke Rumah Sakit Soe agar segera ditolong. Saat itu sekitar pukul 15.00 Wita. Setiba di RS Soe, saya merasakan pelayanan yang amat lambat dan birokratis, alasan klasik petugas membuat saya kalut. Mereka bilang begini...Kondisi istri anda sudah parah mesti di bawa ke RS Kupang saja, disini Dokter Spesialis dan peralatan medis tak lengkap”

Ditambahkan “Ini terjadi ketika waktu sudah berjalan beberapa jam. Segera saya dan keluarga siapkan Oto (mobil) untuk ke Kupang. Kami tiba di Kupang subuh pagi sekitar pukul 03.00 Wita. Disini pelayanan kacau sekali. Dokter tak ada di lokasi. Petugas hanya minta saya sabar, menunggu hingga Pukul 08.00 Wita. Tak berapa lama ketika Dokter datang dan memeriksa. Saya tergesa dipanggil petugas dan mereka bilang, maaf anda terlambat membawa Istri anda....Saya panik lalu melihat istri saya sudah dibantu dengan pernafasan buatan. Dadanya diguncang-guncang dan akhirnya Istri dan anak saya mati. Saya menangis ketika tahu, Istri dan Anak saya telah mati. Padahal saya sudah berjuang menolong mereka”

KORBAN (YANG) SERTAKAN KITA
Bergidik bulu roma, ketika saya mendengar ucapan Sang Bapak. Saya yang disampingnya waktu itu hanya terdiam. Ini gila. Wajar saja jika seorang Ibu yang terkena kasus pendarahan ketika hamil tak akan mungkin tertolong. Saya berguman sendiri. Kisah Sang Bapak adalah cerita Korban. Narasi diatas hanya setitik debu kecil yang hadir di bumi NTT. Mereka korban dari salah kelola Negara, Korupsi, korban dari egoisme aparatus. Sang Bapak adalah korban, sehingga turut menyertakannya dalam perjuangan politik adalah kemutlakan. Ini sekaligus menghindari klaim sepihak dari kelompok kepentingan tertentu yang selalu menutupi fakta di lapangan.

Pengalaman langsung korban mempunyai getaran yang berbeda ketimbang mereka yang tahu hal ini dari getir cerita, buku atau studi kepustakaan. Bagi sebagian besar kita pernyataan saya ini bisa dibantah dengan memilahnya dari sisi pendekatan (positivis-teoritik vs empirik-partisipatif). Jika disuruh memilih, saya cenderung memilih yang kedua. Dimana memasuki pintu pengalaman korban, lalu terlibat dan berpijak menjadi pintu masuk untuk pilihan sikap berpihak.

Ini berangkat dari situasi dimana pilihan untuk menggugat realitas harus dibarengi dengan upaya nyata merubah. Hal ini menjadi kian relevan ketika ingatan publik kian menipis di tengah gempuran revolusi media. “Kita sedang menghadapi virus egoisme modern”, Ujar Sindhunata.

Hal ini kian kontekstual ketika berjumpa dengan “Solidaritas Mekanik” yang tumbuh karena trend. Solidaritas yang terbentuk karena perspektif yang diayunkan oleh sekelompok manusia yang berkepentingan, dimana pencitraan lebih utama daripada content; kamuflase lebih menarik ketimbang fakta. Ini juga menjungkirbalikan arus gejala yang meletakan sebuah peristiwa sebagai peristiwa semata. Seperti ucapan sahabat saya yang bernada putus asa beberapa hari lalu, “sudahilah menulis ris, tokh..yang terjadi orang hanya merespon sesaaat, memuji-muji lalu pergi. Barangkali ketika ia memberi komentar sedang dalam toilet” Saya tertegun sesaat tanpa komentar saya menimbang-nimbang dan saya putuskan untuk tetap saja menulis. Tak bisa semua orang dipandang sama.

Dalam perjuangan politik hanya korban saja yang jujur bicara tentang apa yang dirasakannya. Sehingga menjadi bagian dari korban dalam segenap perjuangan politik menjadi sesuatu yang mutlak. Inilah yang disebut perjuangan ideologis. Perjuangan ideologis menuntut keterlibatan kongkrit bersama korban. Hal ini bukan menyerahkan sepenuhnya tuntutan kepada korban. Penyertaan kita oleh korban dalam seluruh aspek pergerakan protes, perlawanan dan tuntutan harus menjadi tantangan baru. Untuk konteks ini, positioning kaum pegiat HAM harus seperti layaknya Fasilitator. Fasilitator yang punya senjata untuk mendengar, bertanya dan me-reframing (menjahit). Sehingga tuntutan yang keluar adalah tuntutan korban bukan donatur asing atau LSM tertentu.

DIKALA RANTAI SOLIDARITAS (ANTAR) KORBAN SALING MENJAHIT
Di Jakarta, KontraS sebuah lembaga yang concern dalam perjuangan HAM, paling tidak sudah memberikan inspirasi dengan menggagas IKOHI. Di dalam IKOHI inilah tergabung sejumlah korban dan keluarga korban. Secara intens IKOHI menggelar beragam pertemuan dan melakukan aksi-aksi. Hal ini tentu saja menjadi monumen dan menjadi jawaban nyata ditengah semarak pendapat yang kerapkali menggeneralisr tentang ingatan manusia Indonesia yang pendek.

Walter Benyamin, seorang penulis Jerman pernah bertutur “ada semacam janji keramat antara generasi lalu dan sekarang, yaitu kehadiran kita di muka bumi ini dinanti” Maka korban tetap saja hidup tanpa uluran tangan langsung mereka para pelaku. Para pelaku boleh jadi tetap menikmati seabrek kebebasan dan kesejahteraan jabatan dan korban tetap hidup dalam ingatan. Maka “Kematian tidak meniadakan seseorang, hanya naluri pembunuh yang menghendaki seseorang lenyap. Para korban yang meninggal hidup di dalam ingatan”” tambah Emanuel Levinas.

Dan kelak waktu ketika rantai solidaritas antar korban saling menjahit, maka sesuatu yang mungkin tak terduga akan terjadi. Tunggu saja. Dadaa..aa..(f)

SOBATKU. Demi masa depan, ketahuilah, bahwa untuk melawan lupa, dibutuhkan bumbu-bumbu perawat ingatan, selanjutnya, sertakan setangkai Cinta untuk memasaknya, dan jangan lupa berdoa dulu, sebelum menyantapnya agar jadi tenaga. Itu saja

Oleh Faris Valeryan Wangge - PENALA eNTiTy

Daftar Pustaka:
1. Majalah Basis, Nomor 01 – 02, Tahun ke-54, Januari – Februari 2005
2. Majalah Basis, Nomor 09 – 10, Tahun ke-57, September – Oktober 2008