Rabu, 27 Oktober 2010

MBAH MARIDJAN (TIDAK) MATI KONYOL

Dua facebooker di Facebook saya berkomentar, “konyol, hanya untuk pengkultusan seorang Maridjan? orang berani mati itu banyak, tapi orang yang berani hidup sangat langka. (Eka Hiroshi), sesaat memberi tanggapan atas kematianWahyu Nugroho, Jurnalis Viva News karena niat suci menyelamatkan Mbah Maridjan (27/10)
 
Seorang lainnya mengumpat, pelajaran yang aneh buat manusia yang konyol, sudah tahu gunung mau meletus tapi gak mau pergi. tuhan ngasih manusia otak buat apa” (Alen Nizametal). Memberikan komentar perihal status Facebook saya “Perginya Sang Pemimpin: Sebuah pelajaran Terhebat Hari ini” (27/10)

Sungguh saya terkejut dengan dua komentar ini dan barangkali ada banyak komentar-komentar serupa di Facebook atau media Online lain hari ini. Bathin saya tiba-tiba berucap, “kiranya kelak waktu ketika kematian datang menjemput anda, orang-orang tak mengatakan hal yang serupa”
Saya harus bilang bahwa hari ini orang begitu mudah mengumbar omongan, menuduh orang lain tanpa terlebih dahulu memeriksa latar belakang peristiwa, keyakinan yang hidup di lereng Merapi dan di Keraton Yogyakarta. 

Tidak Mati Konyol
Ketika diwawancarai Viva News, melalui mendiang Yuniawan W Nugroho (25/10), Mbah Marijan bertutur, “Saya masih kerasan dan betah tinggal di sini. Kalau ditinggal nanti siapa yang mengurus tempat ini,” Ia kemudian melanjutkan, “Sebaiknya kita berdoa supaya Merapi tidak batuk” (Viva News.com)

Mbah Maridjan representasi warga kebanyakan. Warga kecil yang telah mati berulang-ulang dan kembali mati hari ini. Maka menjadi begitu sombong ucapan sinis diatas, inilah jaman ketika orang menganggap rationalitas melampaui segalanya. Bagi saya, Mbah Maridjan adalah sosok yang pantas untuk dipanuti, dia seorang pemimpin publik ,minimal bagi publik di lereng Merapi. Ia pemberani yang menunjukan sikap dan kesetiaan tanpa pamrih. Sikapnya sungguh langka di era rational hari ini. 

Ia juga menjadi cerita tentang sosok yang berani menentang titah siapapun, demi tugas pelayanan yang sedang diembanya. Masih teringat tahun 2006, ketika Gunung Merapi mulai aktif. Saat itu semua orang menganjurkan Mbah Marijan untuk mengungsi, termasuk mendiang Gus Dur dan Sri Sultan Hamengku Buwono X, tetapi Mbah Marijan bersikeras bahkan berjalan meniti lereng Merapi. Entah apa yang ia lakukan tetapi semua orang kemudian tahu bahwa Mbah Marijan melakukan ritual, hingga muncul ucapannya, “tak apa-apa Merapi sedang membuang hajatan saja”.

Hari hari ini ketika Gunung Merapi kembali aktif, Mbah Maridjan melakukan hal serupa, sikapnya tak jauh berbeda dengan sikapnya di empat tahun silam. Dia, Marijdan bersikeras tinggal di rumahnya, yang jaraknya lebih kurang 4 kilometer dari puncak Merapi. Kepada beberapa jurnalis ia bertutur, “apapun nanti yang akan terjadi saya tidak turun”. Demikianlah akhir kisah hidupnya Mbah Marijan ditemukan mati terbakar dalam posisi orang berdoa di rumahnya pada tanggal 27 Oktober 2010. 

Juru Kunci Merapi
Pria bernama asli Mas Penewu Suraksohargo ini lahir tahun 1927 di Dukuh Kinahrejo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi DI Yogyakarta. Hingga wafatnya ia memiliki seorang Istri bernama Ponirah, 10 orang anak (lima diantaranya telah wafat), 11 orang Cucu dan 6 orang cicit.
Pada tahun 1970 Mbah Marijan diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta dan oleh Sultan Hamengku Buwono IX diberi nama baru, yaitu Mas Penewu Suraksohargo 1. Ia diberikan jabatan sebagai Wakil Mantri Juru Kunci mendampingi Ayahnya yang ketika itu menjadi Juru Kunci Gunung Merapi. Setelah ayahnya wafat pada tanggal 3 Maret 1982, Mbah Marijan diangkat menjadi Juru Kunci Gunung Merapi. Sungguh, hingga ajal menjemput ia sosok yang setia menjalankan tugas yang diembannya.

Para Pembesar Harus Bertindak Benar Agar Alam Tentram
Orang lupa bahwa Maridjan itu bukan saja pribadi yang merdeka tetapi seorang yang telah merelakan kemerdekaannya untuk banyak orang, ia bukan seorang “Pilatus” yang mencuci tangan di saat semua orang membutuhkan sikap seorang pemimpin. Mbah Marijdan menunjukan kesetiaan dan tanggung jawabnya dimana selalu “ada bersama” warganya. 

Diakui atau tidak, Mbah Maridjan itu sosok yang kontroversial disatu sisi dan sangat dekat dengan alam Merapi di sisi lain. Hingga ajal menjemputnya tak sedikit orang yang tetap berlaku sinis, tetapi tak sedikit orang yang menghormatinya. Ia mati bersama warganya, ia tak melarikan diri atau ikut mengungsi, ia setia hingga ajal.
 
Dalam berbagai komentar orang-orang mengatakan, “jika dia seorang pemimpin maka tentu dia mau turun sehingga warganya ikut turun” Secara rational ucapan ini ada benarnya tetapi inilah Misteri, tak seluruhnya bisa terjelaskan, yang pasti Mbah Maridjan tak pernah meminta warganya untuk tidak turun, ia bahkan bertitah agar warga mengikuti saran Pemerintah, “Saya minta warga untuk menuruti perintah dari pemerintah, mau mengungsi ya monggo”. 

Ia menghadap Sang Pencipta dalam sujud kepasrahan, entah apa yang ia doakan tetapi jika menelusuri ucapan-ucapannya, ia tak pernah berhenti menasihati orang untuk selalu panjatkan doa dan suatu ketika ia berkata, “para pembesar harus benar dan bertindak sebenarnya, agar alam tenteram” (detik.com) - Terima kasih Mbah. Selamat Jalan!! (f)

Referensi: Viva News, Detik.Com, Kompas.Com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar