Rabu, 22 September 2010

Rofina Tak Percaya Puskesmas

Diantar Pak Kades, sepeda motor itu melaju cepat dan berhenti dilintasan jalan persis di mulut sebuah rumah. Dalam bathin saya bertanya-tanya, rumah siapakah ini?

Faubata sebuah desa di Kota Bajawa, Nusa Tenggara Timur. Melintasi desa ini dua puluh tahun silam tentu berbeda, kini Faubata terbilang maju. Pembangunan infrastruktur menghadirkan denyut yang khas. Faubata kini telah berubah, banyak dijumpai rumah-rumah dengan arsitektur Modern saling berapit. Sejenak mengingat Faubata yang lampau adalah mengingat stasiun bensin satu-satunya di Kota Bajawa, gudang beras Dolog, stasiun PLN dan air terjun Ogi. Semuanya masih ada, namun tak lagi menjadi khas. Faubata telah berubah, arah pembangunan kota tampaknya bergeser ke desa ini. Di lintasan jalan Faubata inilah saya berdiri.

Tak beberapa lama rombongan tim promosi kesehatan (promkes) tiba di pinggang jalan yang sama. Rumah siapakah ini? Kembali bathin saya bertanya, tentu saja karena wajah rumah ini sedikit kontras dengan rumah-rumah lainnya disekitar. Rumah yang dibangun seadanya.

Tampak dinding ruang tengah penuh tempelan koran dan stiker, ada jam dinding yang menggantung, tampaknya oleh-oleh dari konstestan Pemilu Kada. Ruang yang lembab beralaskan tanah, hanya satu meja kecil dan kursi reot berjejer. Terus saja, saya mengamati satu-persatu dinding penuh kertas itu,lalu melangkah ke arah pintu utama. Tampak dua drum bekas galian aspal berjejer menampung air bekas tirisan hujan, juga beberapa bibit pohon kurus yang tergeletak begitu saja di halaman.

Tak berapa lama seorang Ibu datang, mempersilahkan kami duduk. Wajahnya terlihat keheranan karena rumahnya dikunjungi. Sementara rombongan yang lain membagi diri ke rumah-rumah penduduk disekitar. Tinggalah saya berdua dengan seorang Ibu muda Staf senior Dinkes.

“Ibu saya tidak mau periksa, dulu setelah lahir anak kelima, saya pernah ke rumah sakit, terus saya disteril, katanya biar tidak hamil lagi. Tapi ternyata, saya hamil lagi, sekarang saya punya anak ada sembilan” Demikian Rofina, Ibu yang tampak pucat itu bertutur. Rofina mengakui bahwa ia tak lagi percaya dengan sistem KB di rumah sakit. Ia lalu bercerita tentang kesehatan dirinya yang kini terus memburuk. “Saya sering pusing jadi saya tidak kemana-mana saya di rumah saja”.

Lantas bagaimana dengan sekolah anak-anak, tanya kami. Anak saya yang pertama sekarang sudah kerja jadi tukang ojek, yang kedua masih SD tapi sudah tidak mau sekolah lagi dan yang lain masih kecil-kecil. Ujarnya, sambil menunjuk satu persatu anaknya.

Tampak oleh kami anak-anak yang tak terurus. Baju dekil seadanya menambah muram. “Dua anak saya yang paling kecil belum di imunisasi, tapi mereka tidak apa-apa, sehat-sehat saja. Anak rofina yang paling bungsu berusia setahun sedang tergeletak bermain tanah ditemani saudari-saudarinya yang lain. Pengakuannya sejak anak pertama hingga bungsu, proses persalinannya dibantu dukun.

Kami tersadar Ibu Rofina yang baru berusia 40 tahun itu ternyata memiliki 9 orang anak yang masih kecil-kecil. Kesehatannyapun buruk, namun tak ada niat apa-apa untuk memeriksa kesehatannya ke Puskesmas atau Posyandu. Rofina mengidap penyakit yang akut. Saat yang sama kami menghadapi situasi anak-anak Rofina yang tak sekolah itu. Lalu…….?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar