“Saya menangis ketika tahu, Istri dan Anak saya telah mati. Padahal saya sudah berjuang menolong mereka”
DEMIKIAN testimoni seorang Bapak, yang baru saja ditinggal mati, Istri dan anaknya. Testimoni terbuka ini terjadi di salah satu ruang Komisi DPRD Timor Tengah Selatan (28/07/2010). “Saya mendapat kabar bahwa Istri saya mengalami pendarahan. Lalu saya segera membawa mereka ke Rumah Sakit Soe agar segera ditolong. Saat itu sekitar pukul 15.00 Wita. Setiba di RS Soe, saya merasakan pelayanan yang amat lambat dan birokratis, alasan klasik petugas membuat saya kalut. Kondisi istri anda sudah parah mesti di bawa ke RS Kupang saja, disini Dokter Spesialis dan peralatan medis tak lengkap”
Ditambahkan “Ini terjadi ketika waktu sudah berjalan beberapa jam. Segera saya dan keluarga siapkan Oto (mobil) untuk ke Kupang. Kami tiba di Kupang subuh pagi sekitar pukul 03.00 Wita. Disini pelayanan kacau sekali. Dokter tak ada di lokasi. Petugas hanya minta saya sabar, menunggu hingga Pukul 08.00 Wita. Tak berapa lama ketika Dokter datang dan memeriksa. Saya tergesa dipanggil petugas. Saya melihat istri saya sudah dibantu dengan pernafasan buatan. Dadanya diguncang-guncang dan akhirnya Istri dan anak saya mati. Saya menangis ketika tahu, Istri dan Anak saya telah mati. Padahal saya sudah berjuang menolong mereka”
KORBAN (YANG) SERTAKAN KITA
Bergidik bulu roma, ketika saya mendengar ucapan Sang Bapak. Saya yang disampingnya waktu itu hanya terdiam. Ini gila. Wajar saja jika seorang Ibu yang terkena kasus pendarahan ketika hamil tak akan mungkin tertolong. Saya berguman sendiri. Kisah Sang Bapak adalah cerita Korban. Narasi diatas hanya setitik debu kecil yang hadir di bumi NTT. Mereka korban dari salah kelola Negara, Korupsi, korban dari egoisme aparatus. Sang Bapak adalah korban, sehingga turut menyertakannya dalam perjuangan politik adalah kemutlakan. Ini sekaligus menghindari klaim sepihak dari kelompok kepentingan tertentu yang selalu menutupi fakta di lapangan.
Pengalaman langsung korban mempunyai getaran yang berbeda ketimbang mereka yang tahu hal ini dari getir cerita, buku atau studi kepustakaan. Bagi sebagian besar kita pernyataan saya ini bisa dibantah dengan memilahnya dari sisi pendekatan (positivis-teoritik vs empirik-partisipatif). Jika disuruh memilih, saya cenderung memilih yang kedua. Dimana memasuki pintu pengalaman korban, lalu terlibat dan berpijak menjadi pintu masuk untuk pilihan sikap berpihak.
Ini berangkat dari situasi dimana pilihan untuk menggugat realitas harus dibarengi dengan upaya nyata merubah. Hal ini menjadi kian relevan ketika ingatan publik kian menipis di tengah gempuran revolusi media. “Kita sedang menghadapi virus egoisme modern”, Ujar Sindhunata.
Hal ini kian kontekstual ketika berjumpa dengan “Solidaritas Mekanik” yang tumbuh karena trend. Solidaritas yang terbentuk karena perspektif yang diayunkan oleh sekelompok manusia yang berkepentingan, dimana pencitraan lebih utama daripada content; kamuflase lebih menarik ketimbang fakta. Ini juga menjungkirbalikan arus gejala yang meletakan sebuah peristiwa sebagai peristiwa semata. Seperti ucapan sahabat saya yang bernada putus asa beberapa hari lalu, “sudahilah menulis ris, tokh..yang terjadi orang hanya merespon sesaaat, memuji-muji lalu pergi. Barangkali ketika ia memberi komentar sedang dalam toilet” Saya tertegun sesaat tanpa komentar saya menimbang-nimbang dan saya putuskan untuk tetap saja menulis. Tak bisa semua orang dipandang sama.
Dalam perjuangan politik hanya korban saja yang jujur bicara tentang apa yang dirasakannya. Sehingga menjadi bagian dari korban dalam segenap perjuangan politik menjadi sesuatu yang mutlak. Inilah yang disebut perjuangan ideologis. Perjuangan ideologis menuntut keterlibatan kongkrit bersama korban. Hal ini bukan menyerahkan sepenuhnya tuntutan kepada korban. Penyertaan kita oleh korban dalam seluruh aspek pergerakan protes, perlawanan dan tuntutan harus menjadi tantangan baru. Untuk konteks ini, positioning kaum pegiat HAM harus seperti layaknya Fasilitator. Fasilitator yang punya senjata untuk mendengar, bertanya dan me-reframing (menjahit). Sehingga tuntutan yang keluar adalah tuntutan korban bukan donatur asing atau LSM tertentu.
DIKALA RANTAI SOLIDARITAS (ANTAR) KORBAN SALING MENJAHIT
Di Jakarta, KontraS sebuah lembaga yang concern dalam perjuangan HAM, paling tidak sudah memberikan inspirasi dengan menggagas IKOHI. Di dalam IKOHI inilah tergabung sejumlah korban dan keluarga korban. Secara intens IKOHI menggelar beragam pertemuan dan melakukan aksi-aksi. Hal ini tentu saja menjadi monumen dan menjadi jawaban nyata ditengah semarak pendapat yang kerapkali menggeneralisr tentang ingatan manusia Indonesia yang pendek.
Walter Benyamin, seorang penulis Jerman pernah bertutur “ada semacam janji keramat antara generasi lalu dan sekarang, yaitu kehadiran kita di muka bumi ini dinanti” Maka korban tetap saja hidup tanpa uluran tangan langsung mereka para pelaku, mereka bisa menikmati seabrek kebebasan dan kesejahteraan jabatan, maka “Kematian tidak meniadakan seseorang, hanya naluri pembunuh yang menghendaki seseorang lenyap. Para korban yang meninggal hidup di dalam ingatan”” tambah Emanuel Levinas.
Dan kelak waktu ketika rantai solidaritas antar korban saling menjahit, maka sesuatu yang mungkin tak terduga akan terjadi. Tunggu saja. Dadaa..aa..(f)
SOBATKU. Demi masa depan, ketahuilah, bahwa untuk melawan lupa, dibutuhkan bumbu-bumbu perawat ingatan, selanjutnya, sertakan setangkai Cinta untuk memasaknya, dan jangan lupa berdoa dulu, sebelum menyantapnya agar jadi tenaga. Itu saja
Daftar Pustaka:
1. Majalah Basis, Nomor 01 – 02, Tahun ke-54, Januari – Februari 2005
2. Majalah Basis, Nomor 09 – 10, Tahun ke-57, September – Oktober 2008
Rabu, 22 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar