Saya tiba di Alor, meniti tanah Mali bandara kecil yang menjemput. Mobil ambulance tua yang saya tumpangi tiba di Teluk Mutiara. Disini saya lalui waktu sepekan melepas penat Kupang, nikmati suasana laut yang tenang tanpa hingar bingar musik dan panas yang melengket di baju.
Dari Manaseli hingga Rawa-Rawa
“Ina bobo oo ina bobo, kalo tidak bobo, digigit nyamuk.”, sontak gelak tawa menggelegar. Hari itu, Selasa 19 Oktober 2010, sekolah bersama dilangsungkan. Partisipatory Learning And Action (PLA) untuk calon Fasilitator Malaria tingkat Kecamatan di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Pelatihan yang digagas Dinas Kesehatan Kabupaten Alor merupakan metode pelatihan yang belum lama ini di kembangkan UNICEF, model pendekatan ini berhasil di Halmahera Maluku dan kini ada di Nusa Tenggara Timur.
“Kami datang dari Manaseli. Manaseli artinya tempat yang jauh. Di manaseli, warga kami banyak demam dan mati dimangsa Tiping. Tiping itu Nyamuk, jadi kalau bertemu nyamuk jangan hanya di kebas tapi dibunuh mati. Bakal tiping biasa hidup di rawa-rawa”
Mereka kaum biasa dari kampung yang jauh, ada yang datang dari Pulau Pantar, kampung kampung di balik bukit Kalabahi. Mereka datang dengan menumpang kapal motor, oto bis. Di kalabahi kisah kebersamaan itu terjadi. Lima kelompok terbagi habis ada Manaseli, Tiping, Demam, Jentik dan Rawa-rawa. Tiping dalam salah satu bahasa lokal di Pulau Alor berarti Nyamuk. Jentik nyamuk umumnya hidup di Rawa-Rawa dan dari rawa rawa tiping dewasa terbang leluasa, mereka seperti drakula mengisap darah darah warga.
Semula peserta menganggap PLA seperti pelatihan yang sudah-sudah, jenuh, ceramah dan melelahkan. Ternyata, semua terpatahkan PLA sungguh jauh berbeda, ini lebih dari sekedar pelatihan, ini Sekolah Belajar Bersama. Seluruh peserta menjadi juru bicara untuk dirinya sebab masing-masing punya pengalaman terbaik dan unik, semua peserta adalah Narasumber.
Mereka saling berbagi pengalaman tentang situasi Malaria di tempat mereka masing-masing, membicarakan tentang vektor dan epidemologi malaria dalam bahasa sehari hari. Peserta tampak menyukai sekolah bersama ini, tak ada istilah tinggi dipakai, semua ditantang gunakan bahasa lokal, dialek lokal. Kemampuan peserta diukur bukan dari kehebatan mereka menghafal sejumlah kata ilmiah dan medik tetapi sejauhmana mereka mampu menerjemahkan hal hal yang “ruwet” itu lewat bahasa keseharian warga di tempat mereka bermukim dan bertugas.
Hantu itu bernama “Malaria”
Sesekali mereka saling berdebat demi sebuah jalan keluar bersama yang terbaik, mereka lebih sering bergumul dengan kelompok, saling bercerita, menyalin dan menggambar. Ketika memasuki hari ketiga, seluruh peserta melakukan penelusuran desa. Saya ingat betul bagaimana suasana bathin saya pribadi di lapangan. Di pinggang pantai itu, tengah terik mentari yang mengguyur, satu persatu warga berkumpul, berjejer melingkar, “Bapa mama kita duduk di bawah saja, ta usa korsi” Sapa Sebastian, pemimpin di kelompom yang saya dampingi, “Begini bapa mama kami mau tanya bapa mama, tau tidak apa itu Malaria?” “Kami tau itu penyakit yang buat orang mati banyak disini” Jawab salah seorang Warga. “Bapa tau tidak, gejala malaria” tambah Sebas. “Iya bapa kami tahu, kalo kena penyakit malaria, kepala sakit, ulu hati pedis, demam demam dan mual” Warag serempak menjawab.
Perjalanan menelusuri dusun sungguh mengasyikan, banyak rawa rawa yang dijumpai. Kami kian menyadari bahwa Malaria benar benar menjadi hantu yang menakutkan bagi warga semua kampung di Alor. Alor menjadi bagian dari wilayah di NTT yang termasuk tinggi angka kematian penduduk karena Malaria. WHO memperkirakan tak kurang dari 30 juta kasus malaria terjadi setiap tahunnya di Indonesia, dengan 30.000 kematian, sementara NTT menjadi Provinsi yang amat tinggi angka kesakitan akibat Malaria dan salah satunya di Alor.
Data Depkes RI tahun 2005 menunjukkan bahwa NTT memiliki angka kesakitan malaria 150 per 1.000 orang per tahun, diikuti oleh Papua, 63,91 kasus per 1000 penduduk per tahun. Di tahun 2004, dilaporkan tidak kurang dari 711.480 kasus malaria klinik terjadi di NTT, dimana 20% dari 75.000 slide darah yang diperiksa positif malaria. Bahkan data Depkes (2000) menunjukkan bahwa tidak kurang dari 73% kasus yang diobati di puskesmas dan rumah sakit di NTT adalah malaria (Ermi Ndoen)
Malaria berpotensi menular dan diderita warga yang hidup di daerah tropis dan sub tropis. Penularan penyakit malaria dari yang sakit kepada orang sehat, sebagian besar melalui gigitan nyamuk. Bibit penyakit dalam darah manusia dapat terhisap oleh nyamuk berkembang biak dalam tubuh nyamuk dan ditularkan kembali kepada orang sehat.
Hanya Rindu Ngiang Dorakado
Tanpa terasa pelatihan PLA itu telah berakhir. Kini mata saya terpaku membaca Mali, plang bercat putih bandara itu, waktu sungguh berlari. Mali, terminal yang menjemput dan mengantar pulang itu kini telah jauh, hanya rindu ngiang dorakado. Kenangan terserak dalam benak tentang mereka yang datang dari tempat yang jauh, teluk elok, sup ikan gurih serta kisah tak terlupa di aula kota Kalabahi. Sambil mengusap keringat dan lengket debu dijidat, kaki saya meniti turuni tangga-tangga baja, gemuruh baling-baling sekejab senyap. Dari tempat yang jauh masing jelas terngiang ucapan para peserta, “Nyamuk jangan hanya dikebas, kalau ada Nyamuk, lebih baik dibunuh mati saja” (f)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar