Rabu, 22 September 2010

Belajar dari La Furia Roja

Sejumput kalimat yang dulu pernah hinggap di ponsel kumal saya, “jika saat ini anda jatuh maka belajarlah ketika bangun”. Kalimat itu kini kembali menari-nari di kepala sejak mendapati Spanyol menjadi juara Piala Dunia Afrika Selatan 2010.

Saya barangkali sama dengan anda dan sebagian besar manusia di planet ini yang tak menduga piala dunia ada di genggaman Spanyol. Yang terpikirkan dan yang juga saya jagokan justru Brazil. Sementara selain itu ada Portugal, Jerman dan Argentina.

Kembali melihat kalimat diatas, maka perjalanan tim berjulukan La Furia Roja itu sedikit tidaknya mirip betul dengan kalimat itu, “jika saat ini anda jatuh maka belajarlah ketika bangun”. Ini cerita tentang La Furia Roja yang langsung tumbang pada laga perdana mereka melawan keseblasan Swiss 0:1. Visi kita ada di akhir. Barangkali ini yang terus menerus hinggap di benak anak-anak asuh Del Bosque.

Alkisah, Iniesta yang baru sembuh cedera itu berhasil merobek jala kompeni pada menit 116 dan benar La Furia Roja lolos di akhir. Lantas pelajaran berharga apa yang pantas untuk kita maknai? Tentu saja daya tahan, kerjasama tim dan kesabaran merawat Visi. Visi Spanyol adalah menjadi pemenang dan mereka telah memenangkannya. Mimpi mereka adalah menyatukan dua gelar Piala Eropa dan Piala Dunia dan kini terbukti. Mari belajar lagi ketika bangun !! (farisW)

Rofina Tak Percaya Puskesmas

Diantar Pak Kades, sepeda motor itu melaju cepat dan berhenti dilintasan jalan persis di mulut sebuah rumah. Dalam bathin saya bertanya-tanya, rumah siapakah ini?

Faubata sebuah desa di Kota Bajawa, Nusa Tenggara Timur. Melintasi desa ini dua puluh tahun silam tentu berbeda, kini Faubata terbilang maju. Pembangunan infrastruktur menghadirkan denyut yang khas. Faubata kini telah berubah, banyak dijumpai rumah-rumah dengan arsitektur Modern saling berapit. Sejenak mengingat Faubata yang lampau adalah mengingat stasiun bensin satu-satunya di Kota Bajawa, gudang beras Dolog, stasiun PLN dan air terjun Ogi. Semuanya masih ada, namun tak lagi menjadi khas. Faubata telah berubah, arah pembangunan kota tampaknya bergeser ke desa ini. Di lintasan jalan Faubata inilah saya berdiri.

Tak beberapa lama rombongan tim promosi kesehatan (promkes) tiba di pinggang jalan yang sama. Rumah siapakah ini? Kembali bathin saya bertanya, tentu saja karena wajah rumah ini sedikit kontras dengan rumah-rumah lainnya disekitar. Rumah yang dibangun seadanya.

Tampak dinding ruang tengah penuh tempelan koran dan stiker, ada jam dinding yang menggantung, tampaknya oleh-oleh dari konstestan Pemilu Kada. Ruang yang lembab beralaskan tanah, hanya satu meja kecil dan kursi reot berjejer. Terus saja, saya mengamati satu-persatu dinding penuh kertas itu,lalu melangkah ke arah pintu utama. Tampak dua drum bekas galian aspal berjejer menampung air bekas tirisan hujan, juga beberapa bibit pohon kurus yang tergeletak begitu saja di halaman.

Tak berapa lama seorang Ibu datang, mempersilahkan kami duduk. Wajahnya terlihat keheranan karena rumahnya dikunjungi. Sementara rombongan yang lain membagi diri ke rumah-rumah penduduk disekitar. Tinggalah saya berdua dengan seorang Ibu muda Staf senior Dinkes.

“Ibu saya tidak mau periksa, dulu setelah lahir anak kelima, saya pernah ke rumah sakit, terus saya disteril, katanya biar tidak hamil lagi. Tapi ternyata, saya hamil lagi, sekarang saya punya anak ada sembilan” Demikian Rofina, Ibu yang tampak pucat itu bertutur. Rofina mengakui bahwa ia tak lagi percaya dengan sistem KB di rumah sakit. Ia lalu bercerita tentang kesehatan dirinya yang kini terus memburuk. “Saya sering pusing jadi saya tidak kemana-mana saya di rumah saja”.

Lantas bagaimana dengan sekolah anak-anak, tanya kami. Anak saya yang pertama sekarang sudah kerja jadi tukang ojek, yang kedua masih SD tapi sudah tidak mau sekolah lagi dan yang lain masih kecil-kecil. Ujarnya, sambil menunjuk satu persatu anaknya.

Tampak oleh kami anak-anak yang tak terurus. Baju dekil seadanya menambah muram. “Dua anak saya yang paling kecil belum di imunisasi, tapi mereka tidak apa-apa, sehat-sehat saja. Anak rofina yang paling bungsu berusia setahun sedang tergeletak bermain tanah ditemani saudari-saudarinya yang lain. Pengakuannya sejak anak pertama hingga bungsu, proses persalinannya dibantu dukun.

Kami tersadar Ibu Rofina yang baru berusia 40 tahun itu ternyata memiliki 9 orang anak yang masih kecil-kecil. Kesehatannyapun buruk, namun tak ada niat apa-apa untuk memeriksa kesehatannya ke Puskesmas atau Posyandu. Rofina mengidap penyakit yang akut. Saat yang sama kami menghadapi situasi anak-anak Rofina yang tak sekolah itu. Lalu…….?

Bumbu “yang Merawat” Ingatan

“Saya menangis ketika tahu, Istri dan Anak saya telah mati. Padahal saya sudah berjuang menolong mereka”

DEMIKIAN testimoni seorang Bapak, yang baru saja ditinggal mati, Istri dan anaknya. Testimoni terbuka ini terjadi di salah satu ruang Komisi DPRD Timor Tengah Selatan (28/07/2010). “Saya mendapat kabar bahwa Istri saya mengalami pendarahan. Lalu saya segera membawa mereka ke Rumah Sakit Soe agar segera ditolong. Saat itu sekitar pukul 15.00 Wita. Setiba di RS Soe, saya merasakan pelayanan yang amat lambat dan birokratis, alasan klasik petugas membuat saya kalut. Kondisi istri anda sudah parah mesti di bawa ke RS Kupang saja, disini Dokter Spesialis dan peralatan medis tak lengkap”

Ditambahkan “Ini terjadi ketika waktu sudah berjalan beberapa jam. Segera saya dan keluarga siapkan Oto (mobil) untuk ke Kupang. Kami tiba di Kupang subuh pagi sekitar pukul 03.00 Wita. Disini pelayanan kacau sekali. Dokter tak ada di lokasi. Petugas hanya minta saya sabar, menunggu hingga Pukul 08.00 Wita. Tak berapa lama ketika Dokter datang dan memeriksa. Saya tergesa dipanggil petugas. Saya melihat istri saya sudah dibantu dengan pernafasan buatan. Dadanya diguncang-guncang dan akhirnya Istri dan anak saya mati. Saya menangis ketika tahu, Istri dan Anak saya telah mati. Padahal saya sudah berjuang menolong mereka”

KORBAN (YANG) SERTAKAN KITA

Bergidik bulu roma, ketika saya mendengar ucapan Sang Bapak. Saya yang disampingnya waktu itu hanya terdiam. Ini gila. Wajar saja jika seorang Ibu yang terkena kasus pendarahan ketika hamil tak akan mungkin tertolong. Saya berguman sendiri. Kisah Sang Bapak adalah cerita Korban. Narasi diatas hanya setitik debu kecil yang hadir di bumi NTT. Mereka korban dari salah kelola Negara, Korupsi, korban dari egoisme aparatus. Sang Bapak adalah korban, sehingga turut menyertakannya dalam perjuangan politik adalah kemutlakan. Ini sekaligus menghindari klaim sepihak dari kelompok kepentingan tertentu yang selalu menutupi fakta di lapangan.

Pengalaman langsung korban mempunyai getaran yang berbeda ketimbang mereka yang tahu hal ini dari getir cerita, buku atau studi kepustakaan. Bagi sebagian besar kita pernyataan saya ini bisa dibantah dengan memilahnya dari sisi pendekatan (positivis-teoritik vs empirik-partisipatif). Jika disuruh memilih, saya cenderung memilih yang kedua. Dimana memasuki pintu pengalaman korban, lalu terlibat dan berpijak menjadi pintu masuk untuk pilihan sikap berpihak.

Ini berangkat dari situasi dimana pilihan untuk menggugat realitas harus dibarengi dengan upaya nyata merubah. Hal ini menjadi kian relevan ketika ingatan publik kian menipis di tengah gempuran revolusi media. “Kita sedang menghadapi virus egoisme modern”, Ujar Sindhunata.

Hal ini kian kontekstual ketika berjumpa dengan “Solidaritas Mekanik” yang tumbuh karena trend. Solidaritas yang terbentuk karena perspektif yang diayunkan oleh sekelompok manusia yang berkepentingan, dimana pencitraan lebih utama daripada content; kamuflase lebih menarik ketimbang fakta. Ini juga menjungkirbalikan arus gejala yang meletakan sebuah peristiwa sebagai peristiwa semata. Seperti ucapan sahabat saya yang bernada putus asa beberapa hari lalu, “sudahilah menulis ris, tokh..yang terjadi orang hanya merespon sesaaat, memuji-muji lalu pergi. Barangkali ketika ia memberi komentar sedang dalam toilet” Saya tertegun sesaat tanpa komentar saya menimbang-nimbang dan saya putuskan untuk tetap saja menulis. Tak bisa semua orang dipandang sama.

Dalam perjuangan politik hanya korban saja yang jujur bicara tentang apa yang dirasakannya. Sehingga menjadi bagian dari korban dalam segenap perjuangan politik menjadi sesuatu yang mutlak. Inilah yang disebut perjuangan ideologis. Perjuangan ideologis menuntut keterlibatan kongkrit bersama korban. Hal ini bukan menyerahkan sepenuhnya tuntutan kepada korban. Penyertaan kita oleh korban dalam seluruh aspek pergerakan protes, perlawanan dan tuntutan harus menjadi tantangan baru. Untuk konteks ini, positioning kaum pegiat HAM harus seperti layaknya Fasilitator. Fasilitator yang punya senjata untuk mendengar, bertanya dan me-reframing (menjahit). Sehingga tuntutan yang keluar adalah tuntutan korban bukan donatur asing atau LSM tertentu.

DIKALA RANTAI SOLIDARITAS (ANTAR) KORBAN SALING MENJAHIT
Di Jakarta, KontraS sebuah lembaga yang concern dalam perjuangan HAM, paling tidak sudah memberikan inspirasi dengan menggagas IKOHI. Di dalam IKOHI inilah tergabung sejumlah korban dan keluarga korban. Secara intens IKOHI menggelar beragam pertemuan dan melakukan aksi-aksi. Hal ini tentu saja menjadi monumen dan menjadi jawaban nyata ditengah semarak pendapat yang kerapkali menggeneralisr tentang ingatan manusia Indonesia yang pendek.

Walter Benyamin, seorang penulis Jerman pernah bertutur “ada semacam janji keramat antara generasi lalu dan sekarang, yaitu kehadiran kita di muka bumi ini dinanti” Maka korban tetap saja hidup tanpa uluran tangan langsung mereka para pelaku, mereka bisa menikmati seabrek kebebasan dan kesejahteraan jabatan, maka “Kematian tidak meniadakan seseorang, hanya naluri pembunuh yang menghendaki seseorang lenyap. Para korban yang meninggal hidup di dalam ingatan”” tambah Emanuel Levinas.

Dan kelak waktu ketika rantai solidaritas antar korban saling menjahit, maka sesuatu yang mungkin tak terduga akan terjadi. Tunggu saja. Dadaa..aa..(f)

SOBATKU. Demi masa depan, ketahuilah, bahwa untuk melawan lupa, dibutuhkan bumbu-bumbu perawat ingatan, selanjutnya, sertakan setangkai Cinta untuk memasaknya, dan jangan lupa berdoa dulu, sebelum menyantapnya agar jadi tenaga. Itu saja

Daftar Pustaka:
1. Majalah Basis, Nomor 01 – 02, Tahun ke-54, Januari – Februari 2005
2. Majalah Basis, Nomor 09 – 10, Tahun ke-57, September – Oktober 2008

GARPUTALA KECIL YANG TERLUPAKAN

INGIN kuceritakan padamu tentang kisah ini. Kisah garpu tala kecil, yang kini tinggal sendirian di sudut lemari, dilaci paling bawah, dibalik buku buku tua.

ALKISAH. Pada jaman ketika gedung megah itu belum ada dan kota ini masih muda. Garpu tala selalu berjalan-jalan kemanapun ia mau. Ia selalu ada dikeramaian, di gedung Gereja, terminal, pasar juga sekolah-sekolah.

Sahabatnya seorang muda yang wajahnya tak sama sekali tampan. Orang muda yang hingga ketiadaannya tak diketahui namanya, dimana tempat tinggalnya itu kerap disapa Penala. Kelak waktu ketika ia menjadi tua jasadnya dilarungkan ke laut, bersama ikan-ikan ia hidup selamanya.

Alkisah di sebuah subuh, usai konser yang meriah di balkon kota. Garpu tala bertutur pada Penala, “ ..bertahun tahun sudah kita kitari kota ini, aku ingin sekali saja, menjelajahi kampung. Kota ini mulai bising, orang-orang tak lagi saling mengenal” Maka berucaplah Penala, “..aku juga merasakan itu, mari kita bergegas, susuri pinggang kota menuju Timur, barangkali disana ada cerita baru untuk kita”

Maka, berjalanlah mereka menuju Timur. Demikianlah, kedua sahabat itu tiba di sebuah kampung karang yang terjal. Angin yang terik telah melindas rumput dan pepohonan. Sejenak beristirahatlah mereka, dari kejauhan, terlihat orang-orang berlarian memanggul tangisan dipunggungnya. Ramai orang merubuti lapangan. Tersentaklah mereka. Kampung karang itu dilalap bencana, banyak Ibu mati binasa, anak-anak balita merenggang nyawa, biaya tiada obat-obatanpun juga. Gizi buruk begitu lekat. Sementara saban malam, para pemimpinnya sibuk berpesta, “Ini kampung yang aneh, ayo kita hentakan mereka dari kematian” ajak Penala.

Mulailah mereka seperti biasa, mencari dan menemukan nada. Ketika nada didapat, musik terngiang dan konser tercipta,terkumpulah keping-keping Koin dan menjadi banyak. Berjalanlah mereka kitari kampung demi kampung, membagi makanan,obat-obatan, membangun rumah-rumah singgah untuk Ibu dan anak-anak.

Alkisah. Tahunpun berlalu, kampung itu menjadi pulih. Orang-orang telah mampu membangun gedung-gedung rumah sakit yang megah namun Ibu Anak yang sakit belum seluruhnya tertolong. Tersibaklah cerita horor bahwa para penyamun, pencuri, perampok yang dulu terbiasa hidup di kota kini menguasai kampung.

Penala kini menjadi renta, berujarlah ia pada garpu tala. “Sebentar lagi aku akan kembali, aku ingin jasadku dilarungkan kelaut” Penalapun tiada. Orang-orang yang tak mengenalnya, memungut jasadnya membawa ke rumah sakit. Nyawanya dirampas keabadian. Lalu, tibalah seorang pemuda yang pernah mendengar kisah Penala. “Ijinkan saya membawa jasad Pak tua ini” Ujarnya. Maka dilarungkanlah jasad orang tua ke laut. Konon, ketika jasad hendak dilarungkan, garpu tala kecil jatuh bergemincing. Dipungutnya garpu tala itu dan diletakan di kantong bajunya.

Demikianlah. Dulu ketika kota ini masih muda, orang tua yang terlupakan itu memiliki nama untuk dirinya, “kenalkan, nama saya Penala” ujarnya. Penala adalah dia yang memainkan garpu tala. Maka demikianlah, setiap kali, ketika bersua, orang tua tak bernama itu selalu membawa garpu tala di kantong bajunya. Penala dan garpu tala tak pernah usai menyeimbangkan nada. Mereka tahu bagaimana memudahkan orang untuk bertemu.

Demikianlah. Mereka hidup berdua saja, namun konser yang tercipta menghidupkan orang-orang dari kekeringan. Pak tua yang terlupakan itu, acapkali memainkan garpu tala untuk memulai konsernya. Mereka sungguh saling memahami dan jika konser usai, Pak tua acapkali membersihkan garpu tala itu dan meletakan dengan hati-hati di kantongnya.

Alkisah. Ketika kampung mulai pulih, banyak orang lupa, jika dulu ada dua sahabat yang datang menolong dengan keapaadaan. Pak tua yang tak dikenal itu tak pernah menuliskan kisah ini, hanya pepohonan tua diseberang sana yang tahu, bahwa dibalik sejarah kota, tersebutlah Penala. Kehidupan telah berubah, alat-alat musik banyak tercipta tetapi Penala tahu bahwa nada yang seluruh orang mainkan belum mampu membangunkan orang-orang dari kekeringan.

DEMIKIANLAH kisah garpu tala, yang tubuhnya kini terjepit tumpukan buku, di kamar pustaka, sang pemuda. Garpu tala kecil, yang tubuhnya mulai berkarat yang panjangnya tak sampai sejengkal itu kini terlupakan. Dada..aaa

_____Oleh Faris Valeryan Wangge - Kisah ini terinpirasi dari Dongeng Subcomandante Marcos di Mexico Utara, Kisah Seuntai Awan Kecil. Demi Kesehatan ketahuilah bahwa untuk berjuang tak butuh buku-buku yang menumpuk cukup satu tindakan kecil dan berani. Itu saja (f)

Pa, Kenapa Laki-laki Itu Seperti Alien?

kelak jika anak gadisku jatuh cinta, apa yang harus kukatakan padanya, jika ia bertanya, “pa, kenapa laki-laki itu seperti alien?, hmm, mungkin saja, saat itu aku menjawabnya, “nak, lihatlah merpati, laki-laki itu seperti diatas sana, biarlah ia terbang tinggi mengangkasa, jangan kau ikat kakinya, tunggu saja nak, petang nanti, ia pasti kembali hinggapi ranting yang biasa ia jejaki”

anakku tentu tak setuju dengan jawabanku ini, “pa, merpati itu telah kulepas pagi ini..dan ranting yang biasa ia hinggapi telah kutebas. semoga ia bisa temukan ranting lain yang lebih kokoh untuk dia hinggapi”

apa yang harus kujawab, jika dijejali protes seperti ini. hmm, dengan sabar, barangkali saja, aku akan mengatakan padanya, “nak, papa tak pernah melihat alien, papa hanya bisa meminjam merpati untukmu. baiklah kalau begitu, papa akan ceritakan padamu tentang laki-laki.

“ayo, pa ceritakan pa”, seru anakku. “laki-laki itu seperti dirimu, bahkan jauh lebih perasa darimu nak. laki-laki itu juga egois sepertimu, yang tak pernah mau kalah jika berdebat, maka, jikalau kamu mencintai laki-laki itu, jadilah ia seperti dirimu.

anakku yang menggemari puisi itu, barangkali akan membantahku, “pa, itukan sajaknya sapardi, yang bilang, ….mencintaimu harus menjelma aku.., terlalu abstrak pa, aku ingin yang terang, seterang siang ini”. hmm, aku waktu itu mungkin langsung terdiam, dalam hati aku bilang, “hmm anakku, aku selalu kalah jika berdebat denganmu”.

lantas, anakku yang kupahami betul wataknya itu, akan dengan malu-malu mendatangi aku lagi dan mengatakan ini, “pa, baru saja merpatiku yang belum lama pergi itu tiba-tiba terbang berputar-putar di halaman rumah kita. aku tahu pa, ia mencari-cari dahan yang telah kumusnahkan tadi pagi. aku pura-pura tak melihatnya tapi hatiku terus saja mengawasi”.

berbinar anakku bercerita, “teruskan ceritamu nak, kataku. ia berapi-api melanjutkan, “sungguh pa, di luar dugaanku, ketika aku telah lelah mengejarnya, justru kini ia mendekatiku perlahan. kucari-cari jikalau ada bulir jagung yang tercecer di bawah gaunku yang usang, tapi tak juga kutemukan pa. aku heran, bukan bulir-bulir jagung kesukaannya itu yang ia cari”

“apa yang ia cari nak” tanyaku, “begini pa, ketika aku mencoba beralih ke tempat duduk yang lain, ia justru terbang dan hinggap di pangkuanku. dan baru aku tahu bahwa apa yang kupikir selama ini tak selalu benar. bukan dahan-dahan itu yang ia cari, bukan bulir jagung itu yang ia cari. tetapi lebih sederhana dari itu. ia hanya mencari belaian lembut dari tangan kosongku yang tulus. dan tatap mata mungilnya seolah berkata padaku agar tak mencobainya lagi”

hmm anakku begitu semangat bercerita, aku tertegun pada kalimat yang lancar mengalir itu. “lalu, nak, mengapa kau katakan laki-laki itu seperti alien? tentu memerah wajah anakku. lantas, kutahu ia akan balik bertanya , “hmm papa tersinggung ya, kalau papa yang juga laki-laki itu, disamakan dengan alien?

aku terbahak-bahak mendengar celoteh anakku ini. “baiklah, papa belum menjawab ini, kelak akan papa cari jawaban terbaik untukmu. papa hanya ingin kamu tetap menjadi dirimu, menjadi apa yang kamu impikan, yakinlah nak…papa selalu ada untukmu” (ff)

cerita kecil:

untuk wani sahabat baruku:

tengkiu untuk note-notemu yang menginspirasi

senja di 13 september 2010

Maut Berseru Seketika

“…Maut berseru seketika, dan saat ia tiba, tak seorangpun bisa menghindar. Aku mimpi aneh sekali tentang celoteh, pernyataan dan pamit. Kukira ini baik sekali. Ada suara dan tanda, aku mulai menerka bahwasanya, alam turut bicara ketika rintik yang tumpah, tak seluruhnya basah.Bagi seorang sepertiku, sejak lampau, saat ini hingga akan, selalu percaya, sahabat sejati itu berbicara hitam putih dan apa saja di muka.

Bagi seorang sepertiku, kematian telah berulangkali terjadi, maka sejak itupula, aku tak pernah takut hadapi apa saja: gerombolan atau goliat. Kematian itu keniscayaan, kehidupanlah yang abadi, maka inilah maklumatku padamu, pada anda kalian, bahwa kehormatan dan martabat jauh lebih abadi dari pada harta, kekuasaan dan perempuan.

Untuk itulah aku rela melepaskan seluruhnya. Ingatlah ini, seorang sepertiku ada banyak, maka waspadalah terhadap angin, ia kadang berhembus pelan dan memabukan, tapi bisa menjadi taufan yang melindas…”

Catatan: Siang ini sebuah buku tergeletak di hadapan saya, pada halaman 1303, mata saya memagut catatan, sebuah surat kecil yang disalin dengan tinta seadanya. Saya membaginya untukmu, mungkin saja berguna. Itu saja