Jika menghitung waktu, maka enam bulan sudah saya ada di Kota ini. Enam bulan waktu yang berlalu begitu cepat. Sepanjang enam bulan telah banyak yang coba untuk di kerjakan, tentu saya tak sendirian, ada beberapa sahabat yang sejak pertama kali hingga hari ini terus bersama.
Kehadiran di Kota ini, sesuatu yang tak terlintas. Dorongan datang dari beberapa sahabat. Ketika semua bicara, harapan yang muncul adalah bagaimana membuat segalanya lebih baru saja. Mari kita buat sebuah Social Enterprise yang ketika bergerak harus berefek pada dua aras, secara sosial mengena, secara financial mumpuni.
Bagaimana caranya? Disinilah pengembaraan dimulai. Semalam saya berbincang dengan seorang sahabat, saya menawarkan sebuah gagasan, bagaimana membangun sebuah media (majalah/tabloid) yang dapat berfungsi sebagai alat fasilitasi. Ini tantangannya. Maka kami mulai menganalisa. Jika yang sudah-sudah kebiasaan saya adalah memulai dengan isi media maka saat ini lebih dahulu menganalisa peluang/potensi pasar, baru setelahnya menentukan skup pemberitaan. (bersambung)
Selasa, 31 Agustus 2010
Kemenangan di dalam sini
Angin menapis awan, rintik melompat jatuh sekelebat saja. Ini kisah tentang rintik rintik hujan pada kintal, di jari-jari rumah. Rintik walau sesaat itu baik. Para tetua nenek moyang kami menyimpannya di lopo, di tiang langit penopang bulan. Rintik itu ayah, suami dari ibu kita, maka sembilan purnama waktu yang tak terlampau singkat.
Saya melihat akar marungga saling melempar senyum, sumringah pipi daun-daunnya. Saya melihar akar karang menggeliat, saling bercakap, “mari kita menyimpan rintik, agar tetumbuhan menjadi tumbuh dan seluruh badan tanah di pulau ini hijau menjadi bersih”.
Seorang berkata pada seorang lainnya, “marilah kita membangun tanggul penampung rintik”; seorang lain berkata, “bukankah tanggul itu diri kita?”; dan seorang dan lain-nya bertanya, “mengapa mesti rintik? Biarkan rintik mengelap kemarau, hasrat kita hanya menjadikannya berharga lewat hijau tetumbuhan dipekarangan siapa saja”
“baiklah, mari kita menyusun siasat agar rintik kembali jatuh”
Mereka, seorang dengan seorang, saling melirik, memadu senyum. Sejenak benang-benang kata menjadi tenunan, “Kemenangan hidup dimasa kini, bermimpi tentang masa depan, dan belajar yang terbaik di masa lalu”. Dalam sayup kami saling menoleh, dan tanpa dipandu, seluruh sigap berkata, “ Kemenangan ada disini, didalam sini, ayo, kita menggalinya”
usai belanja ide
Saya melihat akar marungga saling melempar senyum, sumringah pipi daun-daunnya. Saya melihar akar karang menggeliat, saling bercakap, “mari kita menyimpan rintik, agar tetumbuhan menjadi tumbuh dan seluruh badan tanah di pulau ini hijau menjadi bersih”.
Seorang berkata pada seorang lainnya, “marilah kita membangun tanggul penampung rintik”; seorang lain berkata, “bukankah tanggul itu diri kita?”; dan seorang dan lain-nya bertanya, “mengapa mesti rintik? Biarkan rintik mengelap kemarau, hasrat kita hanya menjadikannya berharga lewat hijau tetumbuhan dipekarangan siapa saja”
“baiklah, mari kita menyusun siasat agar rintik kembali jatuh”
Mereka, seorang dengan seorang, saling melirik, memadu senyum. Sejenak benang-benang kata menjadi tenunan, “Kemenangan hidup dimasa kini, bermimpi tentang masa depan, dan belajar yang terbaik di masa lalu”. Dalam sayup kami saling menoleh, dan tanpa dipandu, seluruh sigap berkata, “ Kemenangan ada disini, didalam sini, ayo, kita menggalinya”
usai belanja ide
Segenggam Angin
Baru saja kubasuh cinta yang menempel pada binar pada rintik pada mata itu. Aku tak sempat menghitungnya. Angin itu sekelebat cepat memagut. Tanah gersang hamil benih-jentik tumbuh. Aku taktahu apa karna sekeping rintik yang tumpah atau karna lapuk daunan. Sudah kuseka cinta yang mengalir dan kupastikan pada malam, aku menggenggam seluruh. Sial. Kutak bisa mengurainya. Kertas begitu lekat dan kata menepi garis-garis: bukankah anyam daun-daun menjadi banyak.
Sudahlah aku tak lagi percaya dinding. ia hanya setumpuk debu yang rapuh. cinta bukan hanya airmata yang jatuh bertumpuk-muntah kata malam tanpa malu atau wangi rambut yang terbungkus. Cinta hanyalah segenggam angin yang lewat aku tengah menghirupnya
Sudahlah aku tak lagi percaya dinding. ia hanya setumpuk debu yang rapuh. cinta bukan hanya airmata yang jatuh bertumpuk-muntah kata malam tanpa malu atau wangi rambut yang terbungkus. Cinta hanyalah segenggam angin yang lewat aku tengah menghirupnya
Rabu, 04 Agustus 2010
BUMBU "YANG MERAWAT" INGATAN
“Saya menangis ketika tahu, Istri dan Anak saya telah mati. Padahal saya sudah berjuang menolong mereka”
DEMIKIAN testimoni seorang Bapak, yang baru saja ditinggal mati, Istri dan anaknya. Testimoni terbuka ini terjadi di ruang Komisi B DPRD Timor Tengah Selatan (28/07/2010). “Saya mendapat kabar bahwa Istri saya mengalami pendarahan. Lalu saya segera membawa mereka ke Rumah Sakit Soe agar segera ditolong. Saat itu sekitar pukul 15.00 Wita. Setiba di RS Soe, saya merasakan pelayanan yang amat lambat dan birokratis, alasan klasik petugas membuat saya kalut. Mereka bilang begini...Kondisi istri anda sudah parah mesti di bawa ke RS Kupang saja, disini Dokter Spesialis dan peralatan medis tak lengkap”
Ditambahkan “Ini terjadi ketika waktu sudah berjalan beberapa jam. Segera saya dan keluarga siapkan Oto (mobil) untuk ke Kupang. Kami tiba di Kupang subuh pagi sekitar pukul 03.00 Wita. Disini pelayanan kacau sekali. Dokter tak ada di lokasi. Petugas hanya minta saya sabar, menunggu hingga Pukul 08.00 Wita. Tak berapa lama ketika Dokter datang dan memeriksa. Saya tergesa dipanggil petugas dan mereka bilang, maaf anda terlambat membawa Istri anda....Saya panik lalu melihat istri saya sudah dibantu dengan pernafasan buatan. Dadanya diguncang-guncang dan akhirnya Istri dan anak saya mati. Saya menangis ketika tahu, Istri dan Anak saya telah mati. Padahal saya sudah berjuang menolong mereka”
KORBAN (YANG) SERTAKAN KITA
Bergidik bulu roma, ketika saya mendengar ucapan Sang Bapak. Saya yang disampingnya waktu itu hanya terdiam. Ini gila. Wajar saja jika seorang Ibu yang terkena kasus pendarahan ketika hamil tak akan mungkin tertolong. Saya berguman sendiri. Kisah Sang Bapak adalah cerita Korban. Narasi diatas hanya setitik debu kecil yang hadir di bumi NTT. Mereka korban dari salah kelola Negara, Korupsi, korban dari egoisme aparatus. Sang Bapak adalah korban, sehingga turut menyertakannya dalam perjuangan politik adalah kemutlakan. Ini sekaligus menghindari klaim sepihak dari kelompok kepentingan tertentu yang selalu menutupi fakta di lapangan.
Pengalaman langsung korban mempunyai getaran yang berbeda ketimbang mereka yang tahu hal ini dari getir cerita, buku atau studi kepustakaan. Bagi sebagian besar kita pernyataan saya ini bisa dibantah dengan memilahnya dari sisi pendekatan (positivis-teoritik vs empirik-partisipatif). Jika disuruh memilih, saya cenderung memilih yang kedua. Dimana memasuki pintu pengalaman korban, lalu terlibat dan berpijak menjadi pintu masuk untuk pilihan sikap berpihak.
Ini berangkat dari situasi dimana pilihan untuk menggugat realitas harus dibarengi dengan upaya nyata merubah. Hal ini menjadi kian relevan ketika ingatan publik kian menipis di tengah gempuran revolusi media. “Kita sedang menghadapi virus egoisme modern”, Ujar Sindhunata.
Hal ini kian kontekstual ketika berjumpa dengan “Solidaritas Mekanik” yang tumbuh karena trend. Solidaritas yang terbentuk karena perspektif yang diayunkan oleh sekelompok manusia yang berkepentingan, dimana pencitraan lebih utama daripada content; kamuflase lebih menarik ketimbang fakta. Ini juga menjungkirbalikan arus gejala yang meletakan sebuah peristiwa sebagai peristiwa semata. Seperti ucapan sahabat saya yang bernada putus asa beberapa hari lalu, “sudahilah menulis ris, tokh..yang terjadi orang hanya merespon sesaaat, memuji-muji lalu pergi. Barangkali ketika ia memberi komentar sedang dalam toilet” Saya tertegun sesaat tanpa komentar saya menimbang-nimbang dan saya putuskan untuk tetap saja menulis. Tak bisa semua orang dipandang sama.
Dalam perjuangan politik hanya korban saja yang jujur bicara tentang apa yang dirasakannya. Sehingga menjadi bagian dari korban dalam segenap perjuangan politik menjadi sesuatu yang mutlak. Inilah yang disebut perjuangan ideologis. Perjuangan ideologis menuntut keterlibatan kongkrit bersama korban. Hal ini bukan menyerahkan sepenuhnya tuntutan kepada korban. Penyertaan kita oleh korban dalam seluruh aspek pergerakan protes, perlawanan dan tuntutan harus menjadi tantangan baru. Untuk konteks ini, positioning kaum pegiat HAM harus seperti layaknya Fasilitator. Fasilitator yang punya senjata untuk mendengar, bertanya dan me-reframing (menjahit). Sehingga tuntutan yang keluar adalah tuntutan korban bukan donatur asing atau LSM tertentu.
DIKALA RANTAI SOLIDARITAS (ANTAR) KORBAN SALING MENJAHIT
Di Jakarta, KontraS sebuah lembaga yang concern dalam perjuangan HAM, paling tidak sudah memberikan inspirasi dengan menggagas IKOHI. Di dalam IKOHI inilah tergabung sejumlah korban dan keluarga korban. Secara intens IKOHI menggelar beragam pertemuan dan melakukan aksi-aksi. Hal ini tentu saja menjadi monumen dan menjadi jawaban nyata ditengah semarak pendapat yang kerapkali menggeneralisr tentang ingatan manusia Indonesia yang pendek.
Walter Benyamin, seorang penulis Jerman pernah bertutur “ada semacam janji keramat antara generasi lalu dan sekarang, yaitu kehadiran kita di muka bumi ini dinanti” Maka korban tetap saja hidup tanpa uluran tangan langsung mereka para pelaku. Para pelaku boleh jadi tetap menikmati seabrek kebebasan dan kesejahteraan jabatan dan korban tetap hidup dalam ingatan. Maka “Kematian tidak meniadakan seseorang, hanya naluri pembunuh yang menghendaki seseorang lenyap. Para korban yang meninggal hidup di dalam ingatan”” tambah Emanuel Levinas.
Dan kelak waktu ketika rantai solidaritas antar korban saling menjahit, maka sesuatu yang mungkin tak terduga akan terjadi. Tunggu saja. Dadaa..aa..(f)
SOBATKU. Demi masa depan, ketahuilah, bahwa untuk melawan lupa, dibutuhkan bumbu-bumbu perawat ingatan, selanjutnya, sertakan setangkai Cinta untuk memasaknya, dan jangan lupa berdoa dulu, sebelum menyantapnya agar jadi tenaga. Itu saja
Oleh Faris Valeryan Wangge - PENALA eNTiTy
Daftar Pustaka:
1. Majalah Basis, Nomor 01 – 02, Tahun ke-54, Januari – Februari 2005
2. Majalah Basis, Nomor 09 – 10, Tahun ke-57, September – Oktober 2008
DEMIKIAN testimoni seorang Bapak, yang baru saja ditinggal mati, Istri dan anaknya. Testimoni terbuka ini terjadi di ruang Komisi B DPRD Timor Tengah Selatan (28/07/2010). “Saya mendapat kabar bahwa Istri saya mengalami pendarahan. Lalu saya segera membawa mereka ke Rumah Sakit Soe agar segera ditolong. Saat itu sekitar pukul 15.00 Wita. Setiba di RS Soe, saya merasakan pelayanan yang amat lambat dan birokratis, alasan klasik petugas membuat saya kalut. Mereka bilang begini...Kondisi istri anda sudah parah mesti di bawa ke RS Kupang saja, disini Dokter Spesialis dan peralatan medis tak lengkap”
Ditambahkan “Ini terjadi ketika waktu sudah berjalan beberapa jam. Segera saya dan keluarga siapkan Oto (mobil) untuk ke Kupang. Kami tiba di Kupang subuh pagi sekitar pukul 03.00 Wita. Disini pelayanan kacau sekali. Dokter tak ada di lokasi. Petugas hanya minta saya sabar, menunggu hingga Pukul 08.00 Wita. Tak berapa lama ketika Dokter datang dan memeriksa. Saya tergesa dipanggil petugas dan mereka bilang, maaf anda terlambat membawa Istri anda....Saya panik lalu melihat istri saya sudah dibantu dengan pernafasan buatan. Dadanya diguncang-guncang dan akhirnya Istri dan anak saya mati. Saya menangis ketika tahu, Istri dan Anak saya telah mati. Padahal saya sudah berjuang menolong mereka”
KORBAN (YANG) SERTAKAN KITA
Bergidik bulu roma, ketika saya mendengar ucapan Sang Bapak. Saya yang disampingnya waktu itu hanya terdiam. Ini gila. Wajar saja jika seorang Ibu yang terkena kasus pendarahan ketika hamil tak akan mungkin tertolong. Saya berguman sendiri. Kisah Sang Bapak adalah cerita Korban. Narasi diatas hanya setitik debu kecil yang hadir di bumi NTT. Mereka korban dari salah kelola Negara, Korupsi, korban dari egoisme aparatus. Sang Bapak adalah korban, sehingga turut menyertakannya dalam perjuangan politik adalah kemutlakan. Ini sekaligus menghindari klaim sepihak dari kelompok kepentingan tertentu yang selalu menutupi fakta di lapangan.
Pengalaman langsung korban mempunyai getaran yang berbeda ketimbang mereka yang tahu hal ini dari getir cerita, buku atau studi kepustakaan. Bagi sebagian besar kita pernyataan saya ini bisa dibantah dengan memilahnya dari sisi pendekatan (positivis-teoritik vs empirik-partisipatif). Jika disuruh memilih, saya cenderung memilih yang kedua. Dimana memasuki pintu pengalaman korban, lalu terlibat dan berpijak menjadi pintu masuk untuk pilihan sikap berpihak.
Ini berangkat dari situasi dimana pilihan untuk menggugat realitas harus dibarengi dengan upaya nyata merubah. Hal ini menjadi kian relevan ketika ingatan publik kian menipis di tengah gempuran revolusi media. “Kita sedang menghadapi virus egoisme modern”, Ujar Sindhunata.
Hal ini kian kontekstual ketika berjumpa dengan “Solidaritas Mekanik” yang tumbuh karena trend. Solidaritas yang terbentuk karena perspektif yang diayunkan oleh sekelompok manusia yang berkepentingan, dimana pencitraan lebih utama daripada content; kamuflase lebih menarik ketimbang fakta. Ini juga menjungkirbalikan arus gejala yang meletakan sebuah peristiwa sebagai peristiwa semata. Seperti ucapan sahabat saya yang bernada putus asa beberapa hari lalu, “sudahilah menulis ris, tokh..yang terjadi orang hanya merespon sesaaat, memuji-muji lalu pergi. Barangkali ketika ia memberi komentar sedang dalam toilet” Saya tertegun sesaat tanpa komentar saya menimbang-nimbang dan saya putuskan untuk tetap saja menulis. Tak bisa semua orang dipandang sama.
Dalam perjuangan politik hanya korban saja yang jujur bicara tentang apa yang dirasakannya. Sehingga menjadi bagian dari korban dalam segenap perjuangan politik menjadi sesuatu yang mutlak. Inilah yang disebut perjuangan ideologis. Perjuangan ideologis menuntut keterlibatan kongkrit bersama korban. Hal ini bukan menyerahkan sepenuhnya tuntutan kepada korban. Penyertaan kita oleh korban dalam seluruh aspek pergerakan protes, perlawanan dan tuntutan harus menjadi tantangan baru. Untuk konteks ini, positioning kaum pegiat HAM harus seperti layaknya Fasilitator. Fasilitator yang punya senjata untuk mendengar, bertanya dan me-reframing (menjahit). Sehingga tuntutan yang keluar adalah tuntutan korban bukan donatur asing atau LSM tertentu.
DIKALA RANTAI SOLIDARITAS (ANTAR) KORBAN SALING MENJAHIT
Di Jakarta, KontraS sebuah lembaga yang concern dalam perjuangan HAM, paling tidak sudah memberikan inspirasi dengan menggagas IKOHI. Di dalam IKOHI inilah tergabung sejumlah korban dan keluarga korban. Secara intens IKOHI menggelar beragam pertemuan dan melakukan aksi-aksi. Hal ini tentu saja menjadi monumen dan menjadi jawaban nyata ditengah semarak pendapat yang kerapkali menggeneralisr tentang ingatan manusia Indonesia yang pendek.
Walter Benyamin, seorang penulis Jerman pernah bertutur “ada semacam janji keramat antara generasi lalu dan sekarang, yaitu kehadiran kita di muka bumi ini dinanti” Maka korban tetap saja hidup tanpa uluran tangan langsung mereka para pelaku. Para pelaku boleh jadi tetap menikmati seabrek kebebasan dan kesejahteraan jabatan dan korban tetap hidup dalam ingatan. Maka “Kematian tidak meniadakan seseorang, hanya naluri pembunuh yang menghendaki seseorang lenyap. Para korban yang meninggal hidup di dalam ingatan”” tambah Emanuel Levinas.
Dan kelak waktu ketika rantai solidaritas antar korban saling menjahit, maka sesuatu yang mungkin tak terduga akan terjadi. Tunggu saja. Dadaa..aa..(f)
SOBATKU. Demi masa depan, ketahuilah, bahwa untuk melawan lupa, dibutuhkan bumbu-bumbu perawat ingatan, selanjutnya, sertakan setangkai Cinta untuk memasaknya, dan jangan lupa berdoa dulu, sebelum menyantapnya agar jadi tenaga. Itu saja
Oleh Faris Valeryan Wangge - PENALA eNTiTy
Daftar Pustaka:
1. Majalah Basis, Nomor 01 – 02, Tahun ke-54, Januari – Februari 2005
2. Majalah Basis, Nomor 09 – 10, Tahun ke-57, September – Oktober 2008
GARPUTALA YANG TERJEPIT TUMPUKAN BUKU
INGIN kuceritakan padamu tentang kisah ini. Kisah garpu tala kecil, yang kini tinggal sendirian di sudut lemari, dilaci paling bawah, dibalik buku buku tua.
ALKISAH. Pada jaman ketika gedung megah itu belum ada dan kota ini masih muda. Garpu tala selalu berjalan-jalan kemanapun ia mau. Ia selalu ada dikeramaian, di gedung Gereja, terminal, pasar juga sekolah-sekolah.
Sahabatnya seorang muda yang wajahnya tak sama sekali tampan. Orang muda yang hingga ketiadaannya tak diketahui namanya, dimana tempat tinggalnya itu kerap disapa Penala. Kelak waktu ketika ia menjadi tua jasadnya dilarungkan ke laut, bersama ikan-ikan ia hidup selamanya.
Alkisah di sebuah subuh, usai konser yang meriah di balkon kota. Garpu tala bertutur pada Penala, “ ..bertahun tahun sudah kita kitari kota ini, aku ingin sekali saja, menjelajahi kampung. Kota ini mulai bising, orang-orang tak lagi saling mengenal” Maka berucaplah Penala, “..aku juga merasakan itu, mari kita bergegas, susuri pinggang kota menuju Timur, barangkali disana ada cerita baru untuk kita”
Maka, berjalanlah mereka menuju Timur. Demikianlah, kedua sahabat itu tiba di sebuah kampung karang yang terjal. Angin yang terik telah melindas rumput dan pepohonan. Sejenak beristirahatlah mereka, dari kejauhan, terlihat orang-orang berlarian memanggul tangisan dipunggungnya. Ramai orang merubuti lapangan. Tersentaklah mereka. Kampung karang itu dilalap bencana, banyak Ibu mati binasa, anak-anak balita merenggang nyawa, biaya tiada obat-obatanpun juga. Gizi buruk begitu lekat. Sementara saban malam, para pemimpinnya sibuk berpesta, “Ini kampung yang aneh, ayo kita hentakan mereka dari kematian” ajak Penala.
Mulailah mereka seperti biasa, mencari dan menemukan nada. Ketika nada didapat, musik terngiang dan konser tercipta,terkumpulah keping-keping Koin dan menjadi banyak. Berjalanlah mereka kitari kampung demi kampung, membagi makanan,obat-obatan, membangun rumah-rumah singgah untuk Ibu dan anak-anak.
Alkisah. Tahunpun berlalu, kampung itu menjadi pulih. Orang-orang telah mampu membangun gedung-gedung rumah sakit yang megah namun Ibu Anak yang sakit belum seluruhnya tertolong. Tersibaklah cerita horor bahwa para penyamun, pencuri, perampok yang dulu terbiasa hidup di kota kini menguasai kampung.
Penala kini menjadi renta, berujarlah ia pada garpu tala. “Sebentar lagi aku akan kembali, aku ingin jasadku dilarungkan kelaut” Penalapun tiada. Orang-orang yang tak mengenalnya, memungut jasadnya membawa ke rumah sakit. Nyawanya dirampas keabadian. Lalu, tibalah seorang pemuda yang pernah mendengar kisah Penala. “Ijinkan saya membawa jasad Pak tua ini” Ujarnya. Maka dilarungkanlah jasad orang tua ke laut. Konon, ketika jasad hendak dilarungkan, garpu tala kecil jatuh bergemincing. Dipungutnya garpu tala itu dan diletakan di kantong bajunya.
Demikianlah. Dulu ketika kota ini masih muda, orang tua yang terlupakan itu memiliki nama untuk dirinya, “kenalkan, nama saya Penala” ujarnya. Penala adalah dia yang memainkan garpu tala. Maka demikianlah, setiap kali, ketika bersua, orang tua tak bernama itu selalu membawa garpu tala di kantong bajunya. Penala dan garpu tala tak pernah usai menyeimbangkan nada. Mereka tahu bagaimana memudahkan orang untuk bertemu.
Demikianlah. Mereka hidup berdua saja, namun konser yang tercipta menghidupkan orang-orang dari kekeringan. Pak tua yang terlupakan itu, acapkali memainkan garpu tala untuk memulai konsernya. Mereka sungguh saling memahami dan jika konser usai, Pak tua acapkali membersihkan garpu tala itu dan meletakan dengan hati-hati di kantongnya.
Alkisah. Ketika kampung mulai pulih, banyak orang lupa, jika dulu ada dua sahabat yang datang menolong dengan keapaadaan. Pak tua yang tak dikenal itu tak pernah menuliskan kisah ini, hanya pepohonan tua diseberang sana yang tahu, bahwa dibalik sejarah kota, tersebutlah Penala. Kehidupan telah berubah, alat-alat musik banyak tercipta tetapi Penala tahu bahwa nada yang seluruh orang mainkan belum mampu membangunkan orang-orang dari kekeringan.
DEMIKIANLAH kisah garpu tala, yang tubuhnya kini terjepit tumpukan buku, di kamar pustaka, sang pemuda. Garpu tala kecil, yang tubuhnya mulai berkarat yang panjangnya tak sampai sejengkal itu kini terlupakan. Dada..aaa
_____Oleh Faris Valeryan Wangge - Kisah ini terinpirasi dari Dongeng Subcomandante Marcos di Mexico Utara, Kisah Seuntai Awan Kecil. Demi Kesehatan ketahuilah bahwa untuk berjuang tak butuh buku-buku yang menumpuk cukup satu tindakan kecil dan berani. Itu saja (f)
ALKISAH. Pada jaman ketika gedung megah itu belum ada dan kota ini masih muda. Garpu tala selalu berjalan-jalan kemanapun ia mau. Ia selalu ada dikeramaian, di gedung Gereja, terminal, pasar juga sekolah-sekolah.
Sahabatnya seorang muda yang wajahnya tak sama sekali tampan. Orang muda yang hingga ketiadaannya tak diketahui namanya, dimana tempat tinggalnya itu kerap disapa Penala. Kelak waktu ketika ia menjadi tua jasadnya dilarungkan ke laut, bersama ikan-ikan ia hidup selamanya.
Alkisah di sebuah subuh, usai konser yang meriah di balkon kota. Garpu tala bertutur pada Penala, “ ..bertahun tahun sudah kita kitari kota ini, aku ingin sekali saja, menjelajahi kampung. Kota ini mulai bising, orang-orang tak lagi saling mengenal” Maka berucaplah Penala, “..aku juga merasakan itu, mari kita bergegas, susuri pinggang kota menuju Timur, barangkali disana ada cerita baru untuk kita”
Maka, berjalanlah mereka menuju Timur. Demikianlah, kedua sahabat itu tiba di sebuah kampung karang yang terjal. Angin yang terik telah melindas rumput dan pepohonan. Sejenak beristirahatlah mereka, dari kejauhan, terlihat orang-orang berlarian memanggul tangisan dipunggungnya. Ramai orang merubuti lapangan. Tersentaklah mereka. Kampung karang itu dilalap bencana, banyak Ibu mati binasa, anak-anak balita merenggang nyawa, biaya tiada obat-obatanpun juga. Gizi buruk begitu lekat. Sementara saban malam, para pemimpinnya sibuk berpesta, “Ini kampung yang aneh, ayo kita hentakan mereka dari kematian” ajak Penala.
Mulailah mereka seperti biasa, mencari dan menemukan nada. Ketika nada didapat, musik terngiang dan konser tercipta,terkumpulah keping-keping Koin dan menjadi banyak. Berjalanlah mereka kitari kampung demi kampung, membagi makanan,obat-obatan, membangun rumah-rumah singgah untuk Ibu dan anak-anak.
Alkisah. Tahunpun berlalu, kampung itu menjadi pulih. Orang-orang telah mampu membangun gedung-gedung rumah sakit yang megah namun Ibu Anak yang sakit belum seluruhnya tertolong. Tersibaklah cerita horor bahwa para penyamun, pencuri, perampok yang dulu terbiasa hidup di kota kini menguasai kampung.
Penala kini menjadi renta, berujarlah ia pada garpu tala. “Sebentar lagi aku akan kembali, aku ingin jasadku dilarungkan kelaut” Penalapun tiada. Orang-orang yang tak mengenalnya, memungut jasadnya membawa ke rumah sakit. Nyawanya dirampas keabadian. Lalu, tibalah seorang pemuda yang pernah mendengar kisah Penala. “Ijinkan saya membawa jasad Pak tua ini” Ujarnya. Maka dilarungkanlah jasad orang tua ke laut. Konon, ketika jasad hendak dilarungkan, garpu tala kecil jatuh bergemincing. Dipungutnya garpu tala itu dan diletakan di kantong bajunya.
Demikianlah. Dulu ketika kota ini masih muda, orang tua yang terlupakan itu memiliki nama untuk dirinya, “kenalkan, nama saya Penala” ujarnya. Penala adalah dia yang memainkan garpu tala. Maka demikianlah, setiap kali, ketika bersua, orang tua tak bernama itu selalu membawa garpu tala di kantong bajunya. Penala dan garpu tala tak pernah usai menyeimbangkan nada. Mereka tahu bagaimana memudahkan orang untuk bertemu.
Demikianlah. Mereka hidup berdua saja, namun konser yang tercipta menghidupkan orang-orang dari kekeringan. Pak tua yang terlupakan itu, acapkali memainkan garpu tala untuk memulai konsernya. Mereka sungguh saling memahami dan jika konser usai, Pak tua acapkali membersihkan garpu tala itu dan meletakan dengan hati-hati di kantongnya.
Alkisah. Ketika kampung mulai pulih, banyak orang lupa, jika dulu ada dua sahabat yang datang menolong dengan keapaadaan. Pak tua yang tak dikenal itu tak pernah menuliskan kisah ini, hanya pepohonan tua diseberang sana yang tahu, bahwa dibalik sejarah kota, tersebutlah Penala. Kehidupan telah berubah, alat-alat musik banyak tercipta tetapi Penala tahu bahwa nada yang seluruh orang mainkan belum mampu membangunkan orang-orang dari kekeringan.
DEMIKIANLAH kisah garpu tala, yang tubuhnya kini terjepit tumpukan buku, di kamar pustaka, sang pemuda. Garpu tala kecil, yang tubuhnya mulai berkarat yang panjangnya tak sampai sejengkal itu kini terlupakan. Dada..aaa
_____Oleh Faris Valeryan Wangge - Kisah ini terinpirasi dari Dongeng Subcomandante Marcos di Mexico Utara, Kisah Seuntai Awan Kecil. Demi Kesehatan ketahuilah bahwa untuk berjuang tak butuh buku-buku yang menumpuk cukup satu tindakan kecil dan berani. Itu saja (f)
Langganan:
Postingan (Atom)